Perbedaan
Diksi dan Pilihan Kata dalam Proses Penerjemahan “The Old Man and The Sea” karya
Ernest Hemingway oleh Sapardi Djoko Damono dan Dian Vita
Oleh
Siti Aulia Masropah
180110130053
Menerjemahkan sebuah
karya sastra merupakan proses yang sangat tidak mudah. Karena tidak semua
bahasa ‘asal’ dapat ditemukan padananannya pada bahasa ‘tujuan’. Hal ini dapat
mempengaruhi pesan dan maksud yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sang
penulis karya pada bahasa aslinya. Maka dari itu, tidak jarang sebuah karya sastra
yang diterjemahkan lebih banyak disebut sebagai saduran atau ‘karya baru’
dibandingkan dengan hasil dari pengalih bahasaan. Selain itu, penerjemahan
sebuah karya sastra yang dilakukan oleh orang berbeda tidak akan memiliki hasil
yang sepenuhnya sama. Hal ini akan terlihat jelas pada karya sastra yang
berjudul “The Old Man and the Sea” karya Ernest Hemingway yang dialihbahasakan oleh
beberapa penerjemah Indonesia, diantaranya Sapardji Djoko Damono dengan judul
“Lelaki Tua dan Laut” dan Dian Vita yang tetap mempertahankan judul yang sama.
Dalam hasil penerjemahkan
masing-masing penerjemah terdapat banyak perbedaan. Terutama dalam hal Diksi
atau pilihan kata. Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh latar belakang yang
berbeda dari kedua penerjemah tersebut. Sapardji Djoko Damono merupakan seorang
yang selanjutnya disingkat SDD adalah seorang sastrawan sedangkan Dian Vita
yang selanjutnya disingkat DV merupakan penerjemah novel Love in The Time of Cholera
dan juga penulis. Oleh sebab itu, dalam proses penerjemahan mereka
menggunakan gaya bahasa dan ciri khas masing-masing. [1]
Seperti yang
telah disinggung sebelumnya, perbedaan yang menonjol dari kedua hasil
terjemahan tersebut ialah perihal diksi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat
Tabel dibawah ini:
SDD
|
DV
|
....Ia pun
selalu datang unuk menolongnya
membawakan gulungan tali atau kait besar
dan kait kecil dan layar yang sudah tergulung di tiang perahu.
|
....ia
selalu turun membawa gulungan tali atau
tombak ikan seruit
serta layar yang tergulung di sekitar tiang
kapal.
|
Di pipinya
nampak banyak bintik-bintik coklat noda kulit
yang diakibatkan oleh pantulan matahari dari laut
tropis.
|
Noda coklat besar dari kanker kulit yang ditimbulkan oleh refleksi sinar matahari pada lautan tropik tergambar dikedua pipinya.
|
Bintik-bintik
itu memenuhi kedua sisi wajahnya
dan kedua tangannya penuh dengan goresan-goresan
tajam yakni bekas luka karena gosokan tali sewaktu menghela ikan
besar.
|
noda itu menuruni kedua sisi wajahnya dan
tangan-tangannya memiliki parutan
bekas luka akibat genggaman erat pada senar kail yang diseret oleh ikan
besar.
|
Seluruh
tubuhnya nampak tua kecuali sepasang
matanya, yang warnanya bagai laut serta cerah
dan tak kenal menyerah.
|
Segala
sesuatu pada dirinya menggambarkan usia lanjutnya selain
kedua matanya. Keduanya memiliki warna serupa laut dan menyiratkan keriangan serta semangat yang
tak bisa dipadamkan.
|
“Aku bisa
ikut kau lagi, kami sudah mendapat cukup uang.”
|
“Aku bisa
pergi denganmu lagi. Kita telah
menghasilkan banyak uang.”
|
“Begitulah,” kata si lelaki tua. “Tetapi kita
sama-sama yakin, bukan?”
|
“Tidak” lelaki tua itu Mengiyakan. “Tetapi kita punya. Benar kan?”
|
“Kenapa
tidak?” kata lelaki tua itu, “Kita sama-sama
nelayan”
|
“Kenapa
tidak?” lelaki tua itu mengiyakan. “Sebagai sesama
lelaki.”
|
“Ya,” kata
anak itu. “Mau kau kutraktir bir di
teras dan sesudah itu kita bawa pulang perlengkapan ini?”
|
“Ya,” si bocah menjawab. “Bolehkah aku menawarimu segelas bir di beranda dan kemudian kita akan membawa
peralatan ke rumah.”
|
“Berapa umurku waktu pertama kali kau bawa ke laut?”
|
Berapa usiaku ketika bapak pertama kali mengajakku naik perahu?”
|
“Lima, kau nyaris celaka ketika ku angkat
ikan yang masih buas yang hampir saja menghancurkan. perahuku berkeping-keping. Ingat
kau?”
|
Lima dan engkau hampir terbunuh ketika aku membawa
ikan yang sangat muda itu dan hampir merobek perahu jadi berkeping-keping. Masih ingatkah
kau?”
|
“Kuingat ekornya membentur-bentur dan perahu
retak dan suara-suara pukulanmu yang gaduh.
Kuingat kau melemparkanku kehaluan tempat gulungan tali yang masih basah dan kurasakan seluruh
perahu bergetar dan kau mengamuk memukuli ikan
itu bagai membacok-bacok batang pohon dan bau darah yang segar tercium disekelilingku.”
|
“Aku masih ingat ekornya memukul, menampar papan
tempat duduk dalam sampan hingga pecah berantakan serta terdengar suara ribut dari hantaman-hantaman. Aku ingat bapak melemparkanku ke dalam haluan tempat bergulung-gulung tali basah diletakkan. Aku merasa
seluruh bagian perahu bergetar dan suara berisik terdengar ketika bapak memukul jatuh ikan itu seperti menumbangkan sebatang pohon lalu bau amis darah tercium di
seluruh badanku.”
|
“Kau betul-betul
mengingatnya atau hanya karena pernah kuceritakan
hal itu padamu?”
|
“benar-benarkah
kau dapat mengingatnya atau hanya dari yang
kuceritakan padamu?”
|
“Kuingat segala
yang pernah terjadi sejak pertama kali kita bersama ke laut.”
|
“Aku ingat semuanya
sejak pertama kali kita pergi bersama”
|
Lelaki tua itu menatapnya dengan mata
yang masak oleh terik matahari, yang yakin dan penuh rasa sayang.
|
Lelaki tua itu memandanginya dengan
bola matanya yang terbakar matahari menyiratkan hati yang penuh perasaan sayang dan percaya diri.
|
“Kalau saja kau ini anakku sendiri
kubawa kau besok mengadu untung,” katanya.
“Tetapi kau milik ayah dan ibumu dan kau sudah ikut perahu yang nasibnya
baik.” hlm. 8
|
“Andai saja engkau adalah anakku
sendiri, aku akan mengajakmu keluar dan bertaruh,”
ia berharap. “Tetapi engkau adalah anak ayah
ibumu dan sekarang telah bergabung dengan kapal yang beruntung.” Hlm 7
|
“Kubelikan
sardin itu ya? Aku juga tahu tempat orang menjual
empat ekor umpan.”
|
“Bolehkah kuambilkan
sarden untuk bapak? Aku juga tahu di mana bisa mendapatkan empat ekor umpan.”
|
“Aku masih
punya sisa umpan hari ini. kutaruh di atas
garam dalam kotak.”
|
“Aku meninggalkan
kepunyaanku sejak hari ini. Aku letakkan dengan
lumuran garam dalam kotak.”
|
“Biar
kubelikan empat ekor umpan yang masih segar.” (hlm. 8)
|
“biar kuambil
empat ekor yang segar-segar.”
|
“Satu saja,” kata lelaki tua itu.
Harapan dan keyakinannya tidak pernah layu. Malah
sekarang menjadi segar seperti angin lembut bertiup. (Hlm.9)
|
“Satu saja,” lelaki tua itu mengingatkan. Harapan dan percaya dirinya tidak
pernah hilang. Tetapi sekarang mereka sedang
beristirahat dalam belaian angin sepoi-sepoi.
|
“Baiklah: dua,” kata lelaki tua itu.
“kau tidak mencurinya, bukan?”
|
“Baiklah, dua,” lelaki tua itu
akhirnya menyetujuinya. “Kau tidak akan
mencurinya, kan?”
|
“Inginnya begitu,” jawab anak laki-laki
itu. “Tetapi yang ini kubeli.”
|
“Aku mau saja,” si bocah menjawab
nakal. “Tetapi kali ini aku membelinya.”
|
“Terima kasih,” kata lelaki tua itu.
Piirannya terlalu sederhana untuk mempertanyakan
kapan ia berendah hati.
|
“Terima kasih,” lelaki tua itu berkata.
Pikirannya terlalu sederhana untuk membayangkan
sejak kapan ia mencapai taraf kerendahan hati.
|
Tetapi ia tahu bahwa ia telah berendah
hati dan ia tahu bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang aib dan tidak
menyebabkan kehilangan harga diri.
|
Tetapi ia tahu bahwa ia telah
mencapainya dan ia menyadari bahwa itu bukan hal memalukan atau merugikan
bagi harga diri sejatinya.
|
“Besok hari bagus
kalau arus begini,” katanya
|
“Esok akan
menjadi hari yang baik dengan arus
seperti ini,” Ia mengomentari keadaan cuaca.
|
“Rencanamu
mau kemana?” Tanya anak itu.
|
“Ke mana bapak
akan pergi?” si bocah bertanya
|
“Pergi sampai
jauh dan kembali kalau angin berganti arah. Aku akan turun sebelum
matahari terbit.”
|
“Jauh masuk ke
tengah tempat angin berubah arah. Aku akan berangkat sebelum terang.”
|
“Nanti kucoba
mengajaknya turun sampai jauh,” kata anak
itu. “Dan kalau kau berhasil mendapat ikan yang sungguh besar kami dapat
menolongmu.”
|
“Aku akan berusaha
membawanya bekerja jauh ke tengah.” Si bocah berkata. “Dengan begitu jika bapak menangkap sesuatu
yang sangat besar kami bisa segera datang memberi bantuan.:
|
“Ia tidak suka bekerja
sampai jauh.”
|
“Dia tidak suka bekerja
terlalu jauh ke tengah.”
|
“Memang,” kata anak itu. “Tetapi aku
bisa melihat sesuatu yang ia tak mampu melihatnya
seperti misal seekor burung yang sedang cari makan dan akan kuajak dia
berburu dalfin sampai jauh ke laut.”
|
“Memang tidak,” si bocah menyesali.
“Tetapi mataku akan bekerja seperti sepasang mata
burung. Melihat sesuatu yang dia tidak bisa sehingga akan mudah
mengajaknya untuk mengikuti lumba-lumba.
|
“Aneh,” kata lelaki tua itu. “Ia tak
pernah berburu kura-kura. Padahal itulah yang merusakkan mata.”
|
“Aneh,” kata lelaki tua. “Dia tak
pernah mencari penyu. Padahal itulah yang mematikan mata.”
|
“Akupun suka
heran tentang diriku sendiri.”
|
“Aku adalah
orang tua aneh.” Hlm. 8
|
“Kita bawa pulang perlengkapan itu
sekarang,” kata anak itu. “Supaya bisa kuurus
jala itu dan pergi membeli ikan sardin.” Hlm.
10
|
“Mari kita bawa barang-barang ke
rumah,” si bocah mengajak. “Dengan begitu aku sempat
mengambil jala tebar dan menangkap
sarden.”
|
Lelaki tua tu memanggul tiang perahu di pundaknya dan anak itu menjinjing
kotak dengan gulungan tali coklat yang kekar, kait kecil dan kait besar
serta tangkainya
|
Lelaki tua itu memanggul tiang di bahunya dan si bocah menjinjing kotak kayu dengan jalinan tali
keras berwarna coklat yang tergulung, tombak
ikan, dan seruit dengan tangkainya.
|
Kotak yang berisi umpan ada di bawah
buritan, juga tongkat yang dipergunakan untuk
memukuli ikan besar waktu dihela ke sisi perahu.
|
Kotak itu dengan umpan-umpan ada di bawah
buritan perahu bersisian dengan pentungan yang
digunakan untuk mengatasi ikan besar yang mereka bawa
bersama. Hlm 9
|
Tidak ada seorangpun yang mau mencuri
milik lelaki tua itu namun layar serta tali-tali itu lebih baik di bawa
pulang sebab kalau kena embun bisa rusak dan,
walaupun lelaki tua itu yakin bahwa penduduk setempat tidak akan mencuri
barang-barang miliknya, lelaki iu menganggap bahwa kait
adalah godaan yang tak perlu ditinggal di perahu.
|
Tak ada orang yang akan mencuri dari
lelaki tua itu tetapi lebih baik membawa layar dan tali-tali yang berat ke rumah karena embun dapat berakibat buruk bagi peralatan itu, walaupun dia
sangat yakin tidak ada orang setempat yang akan mencuri miliknya, lelaki tua
itu berpikir bahwa sebatang tombak ikan dan sebuah
seruit adalah godaan yang tak ada gunanya ditinggalkan di atas kapal.
|
Mereka berdua berjalan menuju gubuk
lelaki tua itu dan masuk lewat pintunya yang terbuka.
|
Mereka berjalan menyusuri jalan besar bersama-sama menuju gubuk
lelaki tua, masuk ke dalam melewati pintu yang terbuka.
|
Lelaki tua itu menyandarkan tiang yang terbungkus layar itu ke dinding dan si anak menaruh kotak dan perlengkapan lainnya di
sampingnya.
|
Lelaki tua menyandarkan tiang kapal dengan layar pembungkusnya pada dinding
dan si bocah meletakkan kotak dan peralatan
lain di sampingnya.
|
Tiang perahu itu hampir sama
panjangnya dengan sebuah bilik gubuk itu.
|
Tiang kapal itu hampir sama panjangnya
dengan ukuran satu ruangan di dalam gubuk.
|
Gubuk itu terbuat dari mancung pohon palma yang keras
yang disebut guano; ada sebuah
dipan untuk tidur, sebuah meja, sebuah kursi, dan sebuah
sudut di lantai tanah tempat memasak
dengan arang.
|
Gubuk itu terbuat dari semak palem royal yang kuat
yang biasa di sebut guano dan di
dalamnya terdapat sebuah dipan, sebuah meja, satu kursi, dan satu ruangan dengan lantai
kotor sebagai tempat memasak dengan kayu arang.
|
Sebuah gambar berwarna hati Suci Yesus
dan sebuah gambar perawan Cobre ditempelkan di
dinding-dinding coklat yang terbuat dari lembaran-lembaran guano yang seratnya sangat kuat.
|
Pada dinding
berwarna coklat yang terbuat dari daun guano berserat yang kuat, yang telah diratakan dan dipasang tumpang tindih terpampang
sebuah gambar berwarna hati Kudus Tuhan Yesus dan gambar lain sang Perawan Suci dari Cobre. Hlm 10
|
Gambar-gambar itu adalah peninggalan
istrinya.
|
Ini adalah peninggalan keramat
almarhum Istrinya.
|
Dahulu ada
pula gambar istrinya yang berwarna di dinding tetapi ia telah
mencopotnya sebab ia merasa kesepian kalau menatapnya dan sekarang disimpan dalam rak di bawah bajunya yang bersih.
|
Dulu pernah
ada foto berwarna istrinya pada dinding tetapi telah diturunkan karena
membuatnya merasa kesepian setiap kali memandanginya dan sekarang foto itu
disimpan dalam rak di sudut ruang di bawah
baju-baju bersihnya.
|
“Apa yang akan
kau makan?” tanya anak itu.
|
“Apa yang bapak
punya untuk dimakan?” si bocah
bertanya.
|
“Tidak. Aku akan makan di rumah. Boleh kubuatkan api?” hlm. 11
|
“Tidak. Aku akan makan di rumah. Bapak ingin aku membuat
api?” hlm. 10
|
Sesungguhnya tiada lagi
jala itu dan anak laki-laki itu ingat ketika mereka menjualnya.
|
Tidak ada jala tebar dan si anak ingat
ketika mereka menjualnya.
|
Tetapi mereka suka berkhayal setiap hari. Juga tidak ada panci nasi kuning dan ikan dan anak itu juga tahu. Hlm. 11
|
Tetapi mereka
melakukan fiksi ini setiap hari. Tak ada sepanci nasi jagung dan ikan, si bocah juga tahu hal ini.
hlm. 10
|
“Delapan puluh lima adalah angka
beruntung,” kata laki-laki tua itu. “Senangkah kau
kalau aku berhasil mendapat seekor yang beratnya
lebih dari seribu pon?” hlm. 11
|
“85 adalah angka keberuntungan,”
lelaki tua itu berkata. “Betapa senangnya jika
aku dapat menangkap seekor yang dapat ditukar dengan
1000 pound.” Hlm. 11
|
“Aku akan mengurus jala itu dan pergi
membeli ikan sardin. Kau duduk saja diambang pintu
biar kena sinar matahari.’
|
“Aku akan mengambil
jala tebar dan mengambil sarden. Apakah bapak akan duduk di bawah matahari di pintu masuk?”
|
“Baiklah. Aku punya koran kemarin dan ingin kubaca tentang pertandingan baseball itu.”
|
“Ya. Aku punya koran kemarin dan akan kubaca berita pertandingan baseball.”
|
Anak laki-laki itu tidak tahu apakah koran kemarin itu juga hanya khayalan saja. Tetapi lelaki tua itu mengambilnya dari bawah dipan.
|
Si bocah tidak mengerti apakah koran kemarin termasuk dalam fiksi juga. Tetapi lelaki tua itu membawanya keluar dari dipan.
|
“Pedrico
yang memberikan koran ini padaku di bodega,” katanya menjelaskan
|
“Perico
membawakannya untukku di bodega.” Ia menjelaskan.
|
“Aku kembali nanti kalau sudah mendapatkan sardin. Biar kusimpan nanti
punya kita bersama-sama dalam es dan besok
kita bagi dua. Ceritakan padaku tentang baseball
itu kalau aku sudah balik,”
|
“Aku akan kembali dengan membawa sarden. Aku akan menyimpan milikmu
dan milikku bersama dengan es batu dan kita
dapat membaginya besok pagi. Saat aku kembali bapak
bisa bercerita tentang kejuaraan baseball.”
|
“Tetapi aku takut
pada Indians dari Cleveland itu.”
“Percayalah pada Yankess anak
muda. Ingat saja DiMaggio yang agung.”hlm.
11
|
“Tapi aku mengkhawatirkan
Indians dari Cleveland.”
“Yakinlah pada Yankess, anakku. Pikirkan jagoan DiMaggio.” Hlm. 11
|
“Aku takut pada Tigers dari Detroit dan Indians dari Cleveland.”
|
“Aku takut akan Tigers dari Detroit dan Indians dari Cleveland.”
|
“Hati-hati saja, atau kau bahkan juga
takut pada Reds
dari Cincinnati dan White Sox dari Chicago.’
|
“Hati-hatilah atau kau bahkan akan
takut pada Reds dari Cincinnati dan White Sox dari Chicago.”
|
“Baca saja
dan ceritakan padaku kalau aku baik nanti.”
|
“Bapak
pelajarilah dan ceritakan padaku saat aku kembali.” Hlm. 11
|
“Bagaimana
kalau kita membeli lotre yang buntutnya delapan puluh lima? Besok hari
yang ke delapan pulu lima?
|
“Apa kau
pertimbangkan untuk beli lotre dengan nomor buntut delapan puluh lima?
Besok adalah hari 85.”
|
“Boleh saja,” kata anak laki-laki itu.
“Tetapi bagaimana tentang nomor delapan puluh tujuh
yang menjadi rekormu itu?”
|
“Kita bisa lakukan itu,” kata si
bocah. “Tetapi bagaimana dengan rekor hebat bapak
selama 87 hari?”
|
“Itu tak akan berulang. Bisakah kau mencari nomor delapan puluh lima?”
|
“Tidak mungkin terjadi dua kali. Apa
kau bisa mendapatkan 85 itu?”
|
“Hangatkan
dirimu sahabat,” kata anak itu. “Ingat bahwa ini bulan september.”
|
“Bapa santai
saja.” Si bocah menenangkan. “Ingatlah sekarang September.”
|
“Bulan yang
banjir ikan-ikan besar,” kata si lelaki tua. “Setiap orang bisa menjadi
nelayan di bulan Mei.”
|
“Saat
ikan-ikan besar berdatangan.” Lelaki mtua itu menyahut, “Siapapun
dapat jadi nelayan pada bulan Mei.”
|
“Aku pergi mencari sardin” kata anak itu
|
“Aku pergi mencari sarden.” Si bocah berpamitan
|
Ketika anak laki-laki itu kembali
lelaki tua itu tertidur di kursi dan matahari
sudah terbenam.
|
Ketika si bocah kembali, lelaki tua
itu sedang tertidur di bangku dan matahari
mulai terbenam.
|
Ia mengambil selimut militer yang
sudah tua itu dari dipan dan menaruhnya disandaran kursi menutupi pundak lelaki tua itu.
|
Si bocah mengambil selimut militer
usang dari dipan dan mengahamparkan pada punggung kursi,
menutupi bahu lelaki tua itu.
|
Kedua pundak itu nampak aneh, masih
tetap perkasa meskipun sudah sangat tua, dan lehernya juga masih kuat dan
kerut merutnya tidak begitu kentara kalau lelaki tua itu tidur dan kepalanya tergantung ke depan.
|
Bahu-bahu yang aneh, masih kuat
walaupun sudah tua, lehernya juga masih kokoh dan kerutan tidak nampak
terlalu banyak ketika si lelaki tua tertidur dengan kepala terjatuh ke depan.
|
Kemejanya penuh
tambalan sehingga nampak seperti layar dan tambalan-tambalan itu sudah luntur
menjadi bermacam-macam warna kena sinar matahari.
|
Baju kaosnya telah
berkali-kali ditambal sehingga menyerupai
layar kapal, dengan tambahan-tambahan
yang memudar karena matahari.
|
Koran itu
terbuka di atas lutut dan tangannya menindihnya sehingga tidak terjatuh oleh angin
sore. Kakinya telanjang.
|
Koran kemarin
terbentang menutupi lututnya, ditindih berat lengannya yang memegangnya di sana dalam sapuan angin malam.
Dia telanjang kaki.
|
Anak laki-laki itu
meninggalkannya lagi dan ketika ia kembali untuk kedua kalinya lelaki tua itu
masih juga tidur.
|
Si bocah
meninggalkannya di situ dan ketika kembali lelaki tua itu masih tertidur.
|
“Bangun pak tua,” seru anak itu sambil
menyentuh lutut lelaki tua itu.
|
“Bangun Bapak,” si bocah menggugahnya dengan meletakkan satu tangan pada lutut
lelaki tua itu.
|
Lelaki tua itu membuka mata dan
beberapa saat lamanya ia masih dalam perjalanan dari
negeri mimpi. Kemudian ia tersenyum.
|
Lelaki tua itu membuka matanya dan
sejenak ia memulihkan diri dari perjalanan jauh ke
belakang. Kemudian ia tersenyum.
|
“Apa yang kau
bawa?”tanyanya
“Makan malam,” kata anak itu, “Kita
berdua akan makan malam.”
“Aku tidak begitu lapar.”
“Ayoh makan. Kau tak bisa kerja tanpa makan.”
|
“Apa yang kau
dapat?” ia bertanya
“Makan malam,” si bocah menjawab.
“Kita akan segera makan malam.”
“Aku tidak lapar.”
“Kemari
dan makanlah, pak. Bapak tidak bisa menangkap ikan tanpa makan lebih dahulu.”
|
“Aku sudah makan,” lelaki tua itu bangkit mengambil koran dan
melipatnya. Lalu ia mulai melipat selimut.
|
“Aku sudah sering
begitu,”lelaki tua itu menjawab keras kepala
sambil bangkit membawa koran yang terlipat.
Kemudian ia mulai melipat selimut. Hlm. 14
|
“Kalau begitu semoga kau panjang umur supaya bisa mengurus dirimu sendiri,”
kata si lelaki tua. “Apa saja yang akan kita makan?”
|
“Baik, hiduplah
selamanya dan jaga dirimu baik-baik,” lelaki tua itu menukas. “Apa yang akan kita makan?”
|
“Kedelai
dan nasi, pisang goreng dan daging rebus.”
Makanan itu telah dibawanya dari teras dalam sebuah panci
yang bersekat. Pisau, garpu dan senduk masing-masing dua pasang
terbungkus serbet kertas dimasukkan kedalama kantung celananya. Hlm 13
|
“Kacang polong
dan nasi, pisang goreng dan sayuran rebus.”
Si bocah membawa hidangan itu dalam wadah logam dua bagian dari beranda.
Dua set pisau, garpu, dan sendok ada dalam sakunya, masing-masing terbungkus
serbet kertas. Hlm 14
|
“Iapun memberi
dua bir.”
|
“Dia menitipkan
bir.”
|
“Ya aku tahu. Tapi ini yang dalam botol, bir Hatuey, dan kukembalikan botol-botolnya.”
|
“Aku tahu. Tapi kali ini dalam botol,
bir Hatuey, dan aku akan kembalikan
botol-botolnya nanti.
|
Di mana pula kau mencuci tangan, pikir
anak itu. Sumber air kampung ini letaknya di sebelah
sana melewati dua jalan.
|
Di mana pula bapak akan mencuci tangan?
Pikir si bocah. Persedian air bersih desa itu
terletak dua ruas gang di bawah dari jalan besar.
|
Seharusnya kuambilkan air untuknya
tadi, piker anak itu, dan sabun serta handuk baru.
|
Aku harus menyediakan air bersih di
sini untuknya, renung si bocah, juga sabun dan sehelai handuk bersih.
|
Kenapa pula aku tak berpikir sejauh itu? Aku harus membelikannya sehelai baju lagi dan sebuah jaket
musim dingin dan sepatu dan selembar selimut.
|
Mengapa aku tidak memperhatikan hal ini? Aku juga harus menyiapkan baginya baju kaos
dan jaket untuk musim dingin dan beberapa pasang
sepatu serta selimut lagi.
|
“Enak sekali daging rebusmu
ini,” kata lelaki tua itu.
|
“Sayur rebusmu enak,” si
lelaki tua memuji.
|
“Seperti kukatakan Yankess menjadi jago Perkumpulan Amerika,” kata si tua itu dengan gembira.
|
“Di liga Amerika jelas Yankess Berjaya
seperti telah kukatakan,” lelaki tua itu menjawab dengan gembira.
|
“Tentu. Tetapi ia jagonya. Dalam perkumpulan lain yang mengadakan
pertandingan, antara Brooklyn dan Philadelphia aku mestinya
memilih Brooklyn. Tetapi kemudian aku
ingat Dick Sisler dan pukulan-pukulan mautnya.”
|
“Harus begitu. Tetapi dia membuat perbedaan sendiri. Di liga lain,
antara Brooklyn dan Philadelphia aku pasti
memilih Brooklyn. Tapi kemudian aku pertimbangkan Dick
Sister dan para jagoan yang Berjaya di stadion lama.”
|
“Kau masih ingat ketika ia suka datang ke Teras?
Aku ingin mengajaknya mancing tetapi aku takut
mengatakannya. Lalu kuminta kau mengatakan padanya tetapi kaupun takut-takut.”
|
“Apakah kau ingat ketika di suka datang ke beranda?
Aku ingin mengajaknya memancing tapi aku terlalu malu
untuk memintanya. lalu aku memintamu untuk mengajaknya dan kau dan segan.”
|
“Kuingat itu. Kita salah. Mestinya ia sudah mincing bersama kita. Dan
akan menjadi kenang-kenangan kita selama hidup.”
|
“Aku tahu. Itu adalah kesalahan besar. Bias jadi ia akan telah pergi
denan kita. Kemudian kita akan mengenangnya sepanjang hidup kita.”
|
“Aku ingin mengajak DiMaggio yang agung
itu untuk mincing,” kata lelaki tua itu. “Orang bilang ayahnya seorang
nelayan. Barangkali dulunya ia juga miskin
seperti kita ini, dan menerima ajakan kita.”
|
“Aku akan mengajak si jagoan DiMaggio
memancing” lelaki tua berkata. “Mereka bilang ayahnya adalah seorang nelayan.
Mungkin dia sama miskinnya dengan kita dan akan bisa mengerti.”
|
“Ayah Sihler yang agung itu tidak
pernah miskin dan dia, si ayah, menjadi pemain perkumpulan –perkumpulan ternama
ketika masih seumurku.”
|
“Ayah si hebat Sihler tidak pernah
susah dan dia, ayahnya, telah bermain dalam Liga Besar ketika masih
seumurku.”
|
“Ketika aku seumurmu aku bekerja pada sebuah kapal yang cukup perlengkapannya
berlayar ke Afrika dan aku pernah menyaksikan singa-singa
di sepanjang pantai pada waktu malam.”
|
“Saat aku seumurmu aku telah ada pada tiang
di kapal besar yang melaju ke Afrika. Di sana aku telah melihat harimau di pantai pada malam hari.”
|
“Kaulah jam bekerku,” kata anak itu.
|
“Bapak
adalah alarmku,” si bocah berkata.
|
“Umurkulah jam bekerku,” kata si tua. “Kubangunkan kau besok tepat
pada waktunya.” Hlm 17
|
“Usiaku adalah alarmku.” Si bocah berkata.
“mengapa lelaki tua bangun sangat awal? Apakah supaya dapat menikmati
satu hari lebih lama lagi?”
“Aku tidak tahu,” si bocah menjawab. “Yang aku tahu adalah anak muda
tidur larut, itupun dengn susah payah.”
“Aku bisa mengingatnya,” lelaki tua itu mengenang. “Aku akan
membangunkanmu tepat waktu.” Hlm 18
|
“Aku tak suka ia membangunkanku. Aku malu dan merasa rendah
karenanya.”
|
“Aku tidak suka dia membangunkanku. Rasanya dapat membuatku rendah
diri.”
|
Ia segera
jatuh tertidur dan bermimpi tentang Afrika waktu ia masih sangat muda
dan pantai kencana dan pantai putih, begitu
putihnya sehingga menyilaukan matamu, dan tanjung yang menjulang dan
gunung-gunung coklat yang perkasa.
|
Ia tertidur sejenak
dan bermimpi tentang Afrika ketika dia masih sangat muda dengan pantai keemasan memanjang serta pantai putihnya,
begitu putih sehingga dapat memedihkan penglihatan, tampak juga tanjung yang
tinggi serta pegunungan raksasa kecoklatan.
|
Setiap malam ia kembali berada di
pantai itu dan dalam mimpi-mimpinya ia mendengar deru ombak dan menyaksikan perahu-perahu pribumi meluncur di atasnya.
|
Ia tinggal
disepanjang pantai itu sekarang setiap malam dan dalam mimpinya terdengar
gemuruh ombak laut, terlihat kapal penduduk asli
datang menghampiri melewati ombak.
|
Ia mencium bau tir dan tali temali yang bertebaran di dek dalam tidurnya
dan ia mencium bau Afrika pada angin darat
yang bertiup di pagi hari. Hlm 17
|
Ia mencium aroma ter dan serpihan tali yang tercerabut serat-seratnya di dek
belakang selama tidurnya dan terhirup bau-bauan tanah
Afrika yang dibawa angin darat saat pagi menjelang. Hlm 19
|
Tapi malam ini angin darat itu datang
terlampau awal dan ia tahu mimpinya belum usai dan ia terus bermimpi
menyaksikan puncak-puncak kepulauan yang keputih-putihan bangkit dari laut
dan kemudian bermimpi tentang pelabuhan-pelabuhan dan pangkalan-pangkalan di kepulauan kenari.
|
Namun malam ini aroma angin darat tiba
terlalu awal dalam mimpinya, bersambung mimpi melihat puncak-puncak putih
dari kepulauan yang muncul dari horizon laut kemudian ia memimpikan
pelabuhan-pelabuhan yang berbeda dan pangkalan laut pulau
Canary.
|
Ia tak lai bermimpi tentang topan, tak pernah lagi memimpikan perempuan-perempuan atau petualangan-petualangan
atau ikan-ikan besar atau perkelahian atau adu kuat
atau istrinya.
|
Ia tak lagi bermimpi mengenai badai, juga tidak tentang perempuan, atau peristiwa-peristiwa dasyat, atau
ikan-ikan besar, atau konteks kekuatan, bahkan tidak pula istrinya.
|
Kini ia hanya bermimpi tentang tamasya
dan tentang singa-singa yang Nampak di pantai.
|
Ia hanya memimpikan tempat-tempat sekarang
dan harimau di pantai.
|
Di waktu senja singa-singa itu bergelutan seperti
kucing dan ia sayang pada mereka seperti sayangnya pada anak laki-laki
itu.
|
Mereka bermain sebagai anak kucing pada
senja hari dan ia menyayangi mereka seperti sayangnya pada si bocah.
|
Kutipan di atas hanyalah sebagian
dari yang penulis temukan dalam karya terjemhan dari masing-masing penerjemah.
Saat membaca paragraf pertama
kalimat pertama penulis sudah menemukan perbedaan yang cukup signifikan, yaitu
pada kalimat:
Ia seorang lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap
ikan di arus teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan
puluh empat hari lamanya tidak berhasil
menangkap seekor ikanpun.
|
Adalah seorang lelaki tua yang pergi ke laut seorang diri dalam sebuah perahu
di arus Teluk Meksiko yang berlayar selama 84 hari
tanpa membawa hasil ikan seekorpun.
|
Selama empat
puluh hari yang pertama, ia ditemani oleh seorang anak laki-laki.
|
Selama 40
hari pertama seorang bocah
menemaninya.
|
Pada kalimat
dari SDD menerjemahkan bahwa Lelaki tua tersebut ada dalam perahu seorang diri,
sedangkan dalam terjemahan hasil DV menerangkan bahwa lelaki tua tersebut pergi
seorang diri menggunkan perahu, jadi bukan sudah berada di dalam perahu
tersebut. Lalu terdapat perbedaan dalam penggunaan Numeralia. Penulisan nomor
bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf, jika lebih dari dua suku kata
susunan kalimat diubah agar bilangan yang tidak dapat ditulis dengan huruf itu
tidak ada pada awal kalimat (Waridah Ernawati, “EYD”. 2013: 28). Karena pada kalimat
ini, angka bilangan ini tidak terdapat di awal kalimat dan lebih dari dua suku
kata, maka penggunaan numeralia yang benar adalah dari Dian Vita.
lalu masuk perbedaan
selanjutnya yang sangat menonjol adalah perbedaan bentuk penyebutan bagi
seorang anak yang bersama lelaki tua tersebut dan sapaan sang anak pada lelaki
tua tersebut. Hal ini dapat terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini:
...atas perintah orangtuanya anak itu kemudian ikut perahu lain yang berhasil
menangkap tiga ekor ikan besar selama minggu pertama.
|
...bocah
tersebut pergi sesuai perintah mereka ke perahu lain yang menangkap tiga ekor
ikan bagus pada
minggu pertama.
|
Anak itu merasa kasihan
setiap kali menyaksikan si lelaki tua...
|
Si bocah
sedih menyaksikan lelaki tua itu....
|
“Tapi ingat betapa kau pernah selama delapan puluh tujuh hari ke
laut tanpa mendapat seekorpun ikan, dan kemudian kita menangkap beberapa ekor
ikan besar setiap harinya selama tiga minggu.”
|
“Tetapi ingatlah bagaimana Bapak pergi delapan puluh tujuh hari tanpa
hasil dan kemudian kita berhasil menangkap seekor ikan yang sangat besar
setiap hari selama tiga minggu.”
|
“Tetapi
apakah kini kau masih
merasa cukup kuat untuk menghadapi ikan
yang betul-betul besar?” hlm. 9
|
“Tapi
apa bapak masih
cukup kuat sekarang untuk seekor ikan yang
sangat besar?” hlm. 9
|
“Nanti
kucoba mengajaknya turun sampai jauh,” kata anak itu. “Dan kalau kau
berhasil mendapat ikan yang sungguh besar kami
dapat menolongmu.”
|
“Aku
akan berusaha membawanya bekerja jauh ke tengah.” Si bocah
berkata. “Dengan begitu jika bapak menangkap sesuatu yang sangat besar kami bisa segera
datang memberi bantuan.:
|
“Aku
tahu.”
“Selamat
mimpi indah, sobat.” Hlm. 13
|
“Aku
mengerti.”
“Tidur
nyenyak, bapak.” Hlm. 14
|
SDD dalam
hasil terjemahannya menggunakan frasa “anak” sedangkan DV menggunkan frasa “Bocah”.
Menurut dari sumber yang saya baca menerangkan bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, bocah
memiliki arti anak (kecil) dan kanak-kanak. Sedangkan, anak di antaranya
memiliki arti manusia yang masih kecil.[2] Selain itu, pada kalimat
di atas terdapat perbedaan sapaan anak kecil tersebut pada sang lelaki tua. SDD
menerjemahakan bahwa sapaan yang digunakan adalah “Kau”, “Engkau”, dan “Sobat”,
sedangkan DV lebih cenderung menggunakan kata “Bapak”. Melihat hal tersebut,
tergambar jelas bahwa SDD lebih memperlihatkan kesan keakraban diantara sang
anak kecil dengan si lelaki tua sedangkan DV lebih memperlihatkan tentang
kesopanan dan tata krama antara pergaulan beda usia.
Terdapat pula perbedaan antara penyebutan nama makanan, atau bahan
makanan yang terdapat dalam cerita tersebut, seperti yang terlihat pada
kutipan-kutipan berikut ini:
Layar itu bertambal karung gangdum dan kalau tergulung di tiang
nampak seperti panji-panji tanda takluk abadi.
|
Layar itu ditambal dengan karung tepung
dan dalam keadaan tergulung, nampak seperti bendera kekalahan abadi.
|
“Sepanci nasi kuning dan ikan. Kau ingin makan?”
|
“Sepanci nasi jagung dengan ikan. Apa engkau mau?”
|
“Kedelai
dan nasi, pisang goreng dan daging rebus.” hlm 13
|
“Kacang
polong dan nasi, pisang goreng dan sayuran
rebus.” hlm 14
|
Pada kutipan
di atas terdapat perbedaan ganjil antara penyebutan nasi kuning (SDD) dan nasi
jagung (DV). Kedua hal ini jelas memiliki makna dan acuan yang sangat berbeda. Terlebih
pada frasa “daging rebus” (SDD” dan “sayuran rebus” (DV), benar-benar sangat
berbeda jauh.
Hasil dari
telaah ini, penulis menyimpulkan bahwa kedua penerjemah ini tidak hanya
melakukan proses alih bahasa, tetapi keduanya hampir melakukan proses
penyaduran. Namun pendapat ini belum dapat dianggap absah karena, memang dalam
proses penerjemahan tidak akan benar-benar mampu mengalihkan amanat dan maksud
dari sang penulis karya bahasa asal.
* Sebelumnya penulis memohon maaf jika dalam
pengerjaan tugas ini mirip pada salah satu hasil yang terdapat dalam sebuah
Website, namun penulis dapat menjamin bahwa tulisan ini benar-benar ide dan
hasil pemikiran penulis pribadi (di luar dari bagian-bagian yang dikutip) dan
penulis baru menyadari ada kemiripan setelah penyusunan kerangka ide untuk
pengerjaan tugas ini.
[1]
http://www.rezasukmanugraha.com/2012/08/sastra-bandingan-novel-terjemahan_2.html
(diakses pada pukul 17:38, 24 Mei 2015)
[2]
idem