Perempuan,
Kasta, Feodalisme, dan Kehidupannya dalam Kumpulan Cerpen “Sagra” karya Oka
Rusmini dan Novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer
Oleh:
Nama: Siti Aulia
Masropah
NPM:
180110130053
Dalam sebuah karya
sastra, terdapat unsur-unsur kecil sebagai pembangunnya. Beberapa di antaranya ialah unsur yang disebut 'motif' dan 'tema'. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, motif adalah salah satu
dari gagasan yg dominan di dalam karya sastra, yang dapat berupa peran, citra
yg berulang, atau pola pemakaian kata. Intinya motif adalah gagasan dominan
yang terdapat dalam cerita yang membangun sebuah keutuhan karya sastra
tersebut. Sedangkan tema merupakan bentuk sederhana dari sebuah motif. Dalam sebuah cerita selalu terdapat beberapa motif dan tema merupakan simpulan
dari motif-motif yang membangun unsur cerita tersebut.
Berbicara motif dan tema, karya
sastra di Indonesia seringkali memiliki motif-motif yang menarik untuk diulas.
Selain tentang romatisisme dan tentang kritik kepada pemerintahan pada
zamannya, motif yang memang menarik untuk diungkap adalah tentang 'perempuan'.
Sejak lahirnya emansipasi wanita R.A Katini dan menyebarnya faham Feminisme di
indonesia, pembahasan-pembahasan tentang wanita dan kehidupannya banyak
digambarkan dalam karya-karya para sastrawan besar di Indonesia ini. Dari karya-karya
yang banyak tersebut, diantaranya yang paling fenomenal dan merangkum tentang
wanita dan kehidupannya adalah novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer
dan kumpulan cerpen “Sagra” karya Oka Rusmini.
Kedua buku ini meskipun memiliki
motif yang sama, namun memiliki latar belakang cerita yang berbeda. Novel “Gadis
Pantai” karena memiliki satu alur cerita, otomatis hanya menggambarkan satu
sisi dari kehidupan wanita pada saat feodalisme jawa sedang berkembang. Berbeda
dengan kumpulan cerpen “Sagra” yang terdiri dari 11 cerpen berbeda memiliki
cerita yang lebih kompleks. Meskipun sama-sama bercerita tentang kehidupan
wanita dalam kasta-kasta sosial, namun kumpulan cerpen “Sagra” menggambarkannya
lebih kompleks.
Untuk lebih jelasnya, saya akan
membahasnya satu persatu dibawah ini:
Kumpulan cerpen “Sagra”
menggambarkan sisi gelap kehidupan perempuan sebagai korban sistem-sistem kelas
sosial. Hal ini menguatkan latar belakang cerita-cerita ini yang mengambil Bali
sebagai latar tempatnya, selain itu penamaan tokoh dalam cerita ini pun
benar-benar menggambarkan budaya dan kehidupan Bali.
Kasta merupakan nilai
dan adat yang menentukan tertib sosial, tetapi sebaliknya menciptakan
peminggiran perempuan. Bagaimana tidak? Seperti yang digambarkan dalam cerpen “Sepotong
Kaki” dan “Sagra”. Bagaimana nasib seorang perempuan ditentukan dari
golongan mana mereka berasal. Jika dari brahmana, dihormatilah ia. Jika dari sudra,
maka jangan harap mendapatkan harga yang layak. Hal ini juga kental dalam
cerpen yang berjudul “Harga Seorang Perempuan” yang menceritakan tentang
kehidupan istri seorang pembesar yang hidup dalam kebohongan dan kemunafikan.
Meski hampir seluruh
dari cerita dalam buku ini tentang kehidupan perempuan dalam sistem kasta. Namun,
pada dua cerpen pembuka sangat tidak ada hubungannya dengan hal tersebut. Meski
tetap menggunakan perempuan sebagai tokoh utama, kedua cerita yang berjudul “Esensi
Nobelia” dan “Kaskus” lebih kental oleh pengetahuan Filsafat dibandingkan
tentang perempuan dan Feminisme seperti cerita-cerita selanjutnya. Kita simak
cerpen pertama yang berjudul “Esensi
Nobelia”. Secara keseluruhan cerpen ini mengisahkan kehidupan keluarga
yang terdiri dari sepasang suami-istri dan satu orang anak. Konflik dalam
cerpen ini memuncak oleh persoalan filsafat. Jadi, saat itu si anak (Nobelia
Prameswari) tidak mau makan secara fisik, tetapi dia lebih memilih memakan
esensi dari makanan itu. Dalam cerpen ini diceritakan bahwa
si ayah (Rifaset) sering mendongeng kepada anaknya tentang metafisika, energi,
dan kekekalan. Tentang tokoh-tokoh seperti Nietzsche atau Goethe.
Soal-soal
tersebut masih terasa dalam cerpen kedua yang dimuat dalam buku ini, yaitu
Kakus. Istilah-istilah seperti konsep, teori, dan rasio banyak
bertebaran di dalam cerpen ini. Meskipun dari kedua cerita
tersebut terdapat hal yang menarik, yaitu lagi-lagi Oka menulis tentang
sepasang suami dan istri yang memiliki seorang anak. Namun kembali kepada
pembahasan awal, bahwa saya hanya akan mengupas sedikit tentang perempuan dan
sistem kasta dalam cerita-cerita yang ditulis oleh Oka.
Selanjutnya kita membahas tentang
novel “Gadis Pantai” karya Pramodeya. Seperti yang saya katakan sebelumnya,
novel ini memiliki motif yang hampir sama dengan cerita-cerita karya Oka, yaitu
tentang kedudukan perempuan dalam sistem kasta. Bedanya sistem kasta yang
digambarkan oleh karya ini diberi nama feodalisme. Meskipun memiliki kata yang
berbeda, namun makna dan maksudnya sama. Yaitu keadaan dimana yang dianggap
lemah dikuasai oleh yang dianggap kuat dan memiliki pengaruh kekuasaan. Sistem
Feodal ini terdapat dalam sistem sosiopolitik yang berkembang di jawa pada masa
kolonialisme.
Budaya feodalisme ini memang sangat
merugikan rakyat kecil terlebih bagi perempuan. Seperti yang digambarkan dalam
novel yang mengisahkan tentang seorang gadis yang disebut dalam cerita dengan
nama “Gadis Pantai” yang harus menikah dengan seorang priyayi tanpa persetujuan
dirinya senidiri. Terlebih saat menikah, Gadis Pantai tidak
berhadapan langsung dengan calon suaminya sendiri, melainkan dengan sebilah
keris. Pada masa itu, seorang bendoro biasa memiliki istri seperti Gadis
Pantai, yaitu gadis-gadis yang di bawah derajat ataupun kedudukannya untuk
melatih dirinya sendiri menjadi seorang laki-laki atau suami kelak ketika akan
menikah dengan wanita yang berasal dari kalangannya sendiri yang sederajat.
Gadis-gadis seperti Gadis Pantai hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan biologis
para bendoro, yang selanjutnya disebut sebagai Mas Nganten. Ketika seorang Mas
Nganten melahirkan seorang bayi, tugas mereka telah selesai. Ia akan diusir
dari keresidenan dan bukan lagi sebagai Mas Nganten ataupun istri bendoro.
Kalaupun wanita tersebut menjadi bujang di rumah tersebut, wanita itu tetap
harus melayani anak mereka sendiri sebagai bendoro kecil. Bayi tersebut akan
dibesarkan sebagai anak bendoro sendiri dan akan dididik dan belajar mengaji. Pada usia
enam belas tahun, Gadis Pantai hamil dan melahirkan anak perempuan, jenis
kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Hingga ia diceraikan dan diusir
oleh suaminya.
Lewat novel ini, Pram memperlihatkan
dimana rakyat kecil menderita karena adanya praktek feodalisme Jawa dan
memperlihatkan Budaya patriarki (kekuasaan) yang yang diwujudkan dengan adanya
penindasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam novel ini pula,
didapatkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi penulisannya, yaitu
tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel ini ditulis.
Pram mewakili jeritan penderitaan dari rakyat jelata yang nelangsa karena
adanya praktek Feodalisme Jawa. Dimana status sosial menjadi penting pada masa
itu dan perbedaan yang sangat mencolok antara priyayi dengan rakyat jelata.
Priyayi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan,
priyayi harus diperlakukan seperti Tuhan semua ucapannya seakan-akan hukum yang
harus dipatuhi bagi rakyat jelata.
Dalam novel ini banyak sekali
dialog-dialog yang menggambarkan keegoisan dari kalangan priyayi, mereka
mengaggap orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah miliknya
sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam
cuplikan dialog: ”Kau milikku. Aku yang
menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kau kerjakan.
Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.” (Gadis Pantai, hal. 136). Dan
sebaliknya, banyak juga terdapat dialog-dialog ketidakberdayaan rakyat jelata
yang dalam novel ini diwakilkan Gadis Pantai, seperti terlihat dari cuplikan
dialog: “Apa sesungguhnya dikerjakan di
sini?”. “semua, Mas Nganten untuk mengabdi pada Bendoro.” Betapa semena-menanya
priyayi memperlakukan kelas lebih rendah dari dirinya, seperti yang dilakukan
Bendoro mengusir Gadis Pantai (yang tak lain adalah istrinya sendiri) dari
rumahnya dan tidak memperbolehkan membawa bayinya. Perlakuan semacam itu
berdampak buruk pada psikologi tokoh dan status sosialnya di masyarakat.
Pada roman ini juga,
Pram sekali lagi mampu memperlihatkan sebuah gambaran kehidupan feodalisme Jawa
yang menciptakan kelas-kelas borjuis dan proletar di Rembang.
Kehidupan feodalisme seorang priyayi Jawa yang membentuk dominasinya terhadap
masyarakat biasa di buku Gadis Pantai memperlihatkan kentalnya
struktur kekuasaan yang dimunculkan dalam roman ini. Adab dan tidak
berkemanusiaan, menjadi beberapa gambaran cerita yang berhasil digambarkan oleh
Pram dalam sosok priyayi-priyayi Jawa pada roman ini.
Jadi pada intinya,
baik cerita karya Pramoedya Ananta Toer maupun karya Oka Rusmini sama-sama menggambarkan
bagaimana perempuan yang menjadi korban budaya dan kekuasaan politik menjadi
sangat menderita dan sangat tidak berdaya. Hal ini memberikan pelajaran bahwa
sebuah harga untuk kebahagiaan dan keseraan sangatlah mahal. Saat ini, di masa
modern kejadian-kejadian seoerti feodalisme telah mulai bermunculan kembali. Bedanya
jika dulu kehidupan perempuan sengsara lebih banyak karena perilaku laki-laki
dan kekuasaan seorang penguasa. Jika sekarang, kekejaman Feodalisme modern
banyak melibatkan kaum perempuan yang berada dalam posisi tersangka.
# di Buat untuk pemenuhan tugas Sastra Bandingan #
Sumber:
jawa-582621.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar