Senin, 27 April 2015

Perempuan, Kasta, Feodalisme, dan Kehidupannya dalam Kumpulan Cerpen “Sagra” karya Oka Rusmini dan Novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer




Perempuan, Kasta, Feodalisme, dan Kehidupannya dalam Kumpulan Cerpen “Sagra” karya Oka Rusmini dan Novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer

Oleh:
Nama: Siti Aulia Masropah
NPM: 180110130053


Dalam sebuah karya sastra, terdapat unsur-unsur kecil sebagai pembangunnya. Beberapa di antaranya ialah unsur yang disebut 'motif' dan 'tema'. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, motif adalah  salah satu dari gagasan yg dominan di dalam karya sastra, yang dapat berupa peran, citra yg berulang, atau pola pemakaian kata. Intinya motif adalah gagasan dominan yang terdapat dalam cerita yang membangun sebuah keutuhan karya sastra tersebut. Sedangkan tema merupakan bentuk sederhana dari sebuah motif. Dalam sebuah cerita selalu terdapat beberapa motif dan tema merupakan simpulan dari motif-motif yang membangun unsur cerita tersebut.
Berbicara motif dan tema, karya sastra di Indonesia seringkali memiliki motif-motif yang menarik untuk diulas. Selain tentang romatisisme dan tentang kritik kepada pemerintahan pada zamannya, motif yang memang menarik untuk diungkap adalah tentang 'perempuan'. Sejak lahirnya emansipasi wanita R.A Katini dan menyebarnya faham Feminisme di indonesia, pembahasan-pembahasan tentang wanita dan kehidupannya banyak digambarkan dalam karya-karya para sastrawan besar di Indonesia ini. Dari karya-karya yang banyak tersebut, diantaranya yang paling fenomenal dan merangkum tentang wanita dan kehidupannya adalah novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer dan kumpulan cerpen “Sagra” karya Oka Rusmini.
Kedua buku ini meskipun memiliki motif yang sama, namun memiliki latar belakang cerita yang berbeda. Novel “Gadis Pantai” karena memiliki satu alur cerita, otomatis hanya menggambarkan satu sisi dari kehidupan wanita pada saat feodalisme jawa sedang berkembang. Berbeda dengan kumpulan cerpen “Sagra” yang terdiri dari 11 cerpen berbeda memiliki cerita yang lebih kompleks. Meskipun sama-sama bercerita tentang kehidupan wanita dalam kasta-kasta sosial, namun kumpulan cerpen “Sagra” menggambarkannya lebih kompleks.
Untuk lebih jelasnya, saya akan membahasnya satu persatu dibawah ini:
Kumpulan cerpen “Sagra” menggambarkan sisi gelap kehidupan perempuan sebagai korban sistem-sistem kelas sosial. Hal ini menguatkan latar belakang cerita-cerita ini yang mengambil Bali sebagai latar tempatnya, selain itu penamaan tokoh dalam cerita ini pun benar-benar menggambarkan budaya dan kehidupan Bali.
Kasta merupakan nilai dan adat yang menentukan tertib sosial, tetapi sebaliknya menciptakan peminggiran perempuan. Bagaimana tidak? Seperti yang digambarkan dalam cerpen “Sepotong Kaki” dan “Sagra”. Bagaimana nasib seorang perempuan ditentukan dari golongan mana mereka berasal. Jika dari brahmana, dihormatilah ia. Jika dari sudra, maka jangan harap mendapatkan harga yang layak. Hal ini juga kental dalam cerpen yang berjudul “Harga Seorang Perempuan” yang menceritakan tentang kehidupan istri seorang pembesar yang hidup dalam kebohongan dan kemunafikan.
Meski hampir seluruh dari cerita dalam buku ini tentang kehidupan perempuan dalam sistem kasta. Namun, pada dua cerpen pembuka sangat tidak ada hubungannya dengan hal tersebut. Meski tetap menggunakan perempuan sebagai tokoh utama, kedua cerita yang berjudul “Esensi Nobelia” dan “Kaskus” lebih kental oleh pengetahuan Filsafat dibandingkan tentang perempuan dan Feminisme seperti cerita-cerita selanjutnya. Kita simak cerpen pertama yang berjudul “Esensi Nobelia”. Secara keseluruhan cerpen ini mengisahkan kehidupan keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan satu orang anak. Konflik dalam cerpen ini memuncak oleh persoalan filsafat. Jadi, saat itu si anak (Nobelia Prameswari) tidak mau makan secara fisik, tetapi dia lebih memilih memakan esensi dari makanan itu. Dalam cerpen ini diceritakan bahwa si ayah (Rifaset) sering mendongeng kepada anaknya tentang metafisika, energi, dan kekekalan. Tentang tokoh-tokoh seperti Nietzsche atau Goethe. Soal-soal tersebut masih terasa dalam cerpen kedua yang dimuat dalam buku ini, yaitu  Kakus. Istilah-istilah seperti konsep, teori, dan rasio banyak bertebaran di dalam cerpen ini. Meskipun dari kedua cerita tersebut terdapat hal yang menarik, yaitu lagi-lagi Oka menulis tentang sepasang suami dan istri yang memiliki seorang anak. Namun kembali kepada pembahasan awal, bahwa saya hanya akan mengupas sedikit tentang perempuan dan sistem kasta dalam cerita-cerita yang ditulis oleh Oka.
Selanjutnya kita membahas tentang novel “Gadis Pantai” karya Pramodeya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, novel ini memiliki motif yang hampir sama dengan cerita-cerita karya Oka, yaitu tentang kedudukan perempuan dalam sistem kasta. Bedanya sistem kasta yang digambarkan oleh karya ini diberi nama feodalisme. Meskipun memiliki kata yang berbeda, namun makna dan maksudnya sama. Yaitu keadaan dimana yang dianggap lemah dikuasai oleh yang dianggap kuat dan memiliki pengaruh kekuasaan. Sistem Feodal ini terdapat dalam sistem sosiopolitik yang berkembang di jawa pada masa kolonialisme.
Budaya feodalisme ini memang sangat merugikan rakyat kecil terlebih bagi perempuan. Seperti yang digambarkan dalam novel yang mengisahkan tentang seorang gadis yang disebut dalam cerita dengan nama “Gadis Pantai” yang harus menikah dengan seorang priyayi tanpa persetujuan dirinya senidiri. Terlebih saat menikah, Gadis Pantai tidak berhadapan langsung dengan calon suaminya sendiri, melainkan dengan sebilah keris. Pada masa itu, seorang bendoro biasa memiliki istri seperti Gadis Pantai, yaitu gadis-gadis yang di bawah derajat ataupun kedudukannya untuk melatih dirinya sendiri menjadi seorang laki-laki atau suami kelak ketika akan menikah dengan wanita yang berasal dari kalangannya sendiri yang sederajat. Gadis-gadis seperti Gadis Pantai hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan biologis para bendoro, yang selanjutnya disebut sebagai Mas Nganten. Ketika seorang Mas Nganten melahirkan seorang bayi, tugas mereka telah selesai. Ia akan diusir dari keresidenan dan bukan lagi sebagai Mas Nganten ataupun istri bendoro. Kalaupun wanita tersebut menjadi bujang di rumah tersebut, wanita itu tetap harus melayani anak mereka sendiri sebagai bendoro kecil. Bayi tersebut akan dibesarkan sebagai anak bendoro sendiri dan akan dididik dan belajar mengaji. Pada usia enam belas tahun, Gadis Pantai hamil dan melahirkan anak perempuan, jenis kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Hingga ia diceraikan dan diusir oleh suaminya.
Lewat novel ini, Pram memperlihatkan dimana rakyat kecil menderita karena adanya praktek feodalisme Jawa dan memperlihatkan Budaya patriarki (kekuasaan) yang yang diwujudkan dengan adanya penindasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam novel ini pula, didapatkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi penulisannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel ini ditulis. Pram mewakili jeritan penderitaan dari rakyat jelata yang nelangsa karena adanya praktek Feodalisme Jawa. Dimana status sosial menjadi penting pada masa itu dan perbedaan yang sangat mencolok antara priyayi dengan rakyat jelata. Priyayi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan, priyayi harus diperlakukan seperti Tuhan semua ucapannya seakan-akan hukum yang harus dipatuhi bagi rakyat jelata.
Dalam novel ini banyak sekali dialog-dialog yang menggambarkan keegoisan dari kalangan priyayi, mereka mengaggap orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam cuplikan dialog: ”Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kau kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.” (Gadis Pantai, hal. 136). Dan sebaliknya, banyak juga terdapat dialog-dialog ketidakberdayaan rakyat jelata yang dalam novel ini diwakilkan Gadis Pantai, seperti terlihat dari cuplikan dialog: “Apa sesungguhnya dikerjakan di sini?”. “semua, Mas Nganten  untuk mengabdi pada Bendoro.” Betapa semena-menanya priyayi memperlakukan kelas lebih rendah dari dirinya, seperti yang dilakukan Bendoro mengusir Gadis Pantai (yang tak lain adalah istrinya sendiri) dari rumahnya dan tidak memperbolehkan membawa bayinya. Perlakuan semacam itu berdampak buruk pada psikologi tokoh dan status sosialnya di masyarakat.
Pada roman ini juga, Pram sekali lagi mampu memperlihatkan sebuah gambaran kehidupan feodalisme Jawa yang menciptakan kelas-kelas borjuis dan proletar di Rembang. Kehidupan feodalisme seorang priyayi Jawa yang membentuk dominasinya terhadap masyarakat biasa di buku Gadis Pantai memperlihatkan kentalnya struktur kekuasaan yang dimunculkan dalam roman ini. Adab dan tidak berkemanusiaan, menjadi beberapa gambaran cerita yang berhasil digambarkan oleh Pram dalam sosok priyayi-priyayi Jawa pada roman ini.
Jadi pada intinya, baik cerita karya Pramoedya Ananta Toer maupun karya Oka Rusmini sama-sama menggambarkan bagaimana perempuan yang menjadi korban budaya dan kekuasaan politik menjadi sangat menderita dan sangat tidak berdaya. Hal ini memberikan pelajaran bahwa sebuah harga untuk kebahagiaan dan keseraan sangatlah mahal. Saat ini, di masa modern kejadian-kejadian seoerti feodalisme telah mulai bermunculan kembali. Bedanya jika dulu kehidupan perempuan sengsara lebih banyak karena perilaku laki-laki dan kekuasaan seorang penguasa. Jika sekarang, kekejaman Feodalisme modern banyak melibatkan kaum perempuan yang berada dalam posisi tersangka.

# di Buat untuk pemenuhan tugas Sastra Bandingan #

Sumber:

jawa-582621.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar