Minggu, 11 Januari 2015

Puisi, Koran Kompas_Minggu 11 Januari 2015

CYPRIANUS BITIN BEREK
Dendam Absalom
                  - Nyanyian Kepada Daud
Engkau adalah masa lalu tak selesai
Yang perlu dibereskan.Yang tumbuh
dan melahap hidupku hingga sumsum.
Bertumbuh kau seperti tumor
menjalar dan mematikan
sebagai kanibal.

Aku harus membunuhmu, Ayah,
kendati kuhormati dan kucintai engkau.
Sangat. Karena ampunanmu sebatas jarak
sedangkan hadirku tak lagi kau anggap.
Sedekat pandang kau tempatkan aku
untuk berjumpa tak boleh - agar rinduku
sebatas bisul tanpa mata

Padamu seorang tertakik luka
paling perih. Tertanam akar
paling pahit, Engkaulah siksaku, awan pekat
halangi mataku tuk menatap wajah Allah.

Malam ini harus kubunuh engkau.
Sementara kubayangkan diriku bocah kecil
dalam dekapanmu. Sementara kusesali diriku,
sumber segala dosa. Tapi mengapa kau harus
beristri banyak? Mengapa padaku ampun
kauberi untuk kau abaikan hanya?

Namaku Absalon: Bapak perdamaian.
Keindahan dari semua yang elok.
(Kau sendiri yang menamai, bukan?)
Namaku Absalon. Tapi damai tak lagi padaku.

September 2014

Ratapan Daud
                     - Kematian Absalon

Akhirnya pergi juga kau. Tampa berpamit.
Tanpa restu kecuali kesumat. Karena kau
kupanggil pulang untuk tak kuampuni.

Betapa sakit dan sepi.
Betapa malam-malam penuh hantu
penuh mimpi berduri, anakku

Barangkali tanpa setahuku
sering kau terbangun tengah malam
berpeluh lalu berteriak ngeri.

Dulu kau akan memanggilku
dan kuusap kepalamu
sementara kau dekap pinggangku erat.

Akulah hantu itu bagimu.
Betapa perih diremehkan
dan dianggap tiada ayah sendiri.

Lebih daripada tak diampuni sekalian.
Jiwamu tergantung antara ampunanku
dan rindumu berjumpa.

Ada tapi tiada. Pernah kau titip isyarat
mendekatkan dirisebelum akhirnya
pahit hatimu, bertahun kurabai.

Akulah hantu bagimu.
Engkau yang terindah dari semua,
tapi engkau tiada. Terhilang

September 2014


Cyprianus Bitin Berek menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Kini tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan.
 

DADANG ARI MURTONO
Ketika Maling Caluring Memaling

Pada upaya yang kesekian
ia mendengar nyai itu berkata
segala yang gagal membuatmu menyerah
akan menjadikanmu lebih tabah  

pada upaya yang kesekian
gerit jendela seret tak beroli itu hanya senyap
ia seakan melihat asmara
menyungkupkan jarit gelap tak berbatik
dan ia tahu
tak bakal ada jerit
sampai esok
sewaktu si demang menyadari dadanya berlubang
dan jantungnya tinggal kantung yang begitu luang

Pengetahuan Nyai Demang
                  (Untuk ken andhisti sekali lagi)
hatiku kupu-kupu, caruling
dan segala padamu
adalah songkroh penyebak
atau tongkat berperekat sawang laba-laba kuning

telah kau maling caluring, hatiku
sejak hari kita pertama bertukar kerling
dan di kamar si demang
tubuhku tinggal kepompong kosong
bakal penyebab demam si demang

lalu bersama atau tidak, caluring
dalam cinta yang begini
apalah lagi artinya

Cak Markeso

aku penyair bimbang, cak
bimbing aku
aku tak kuat berjalan dengan memanggul
perut lapar, dalam kertasku, kata-kata
tak ada yang abadi
maka tunjukan cak, duniamu itu,
semesta ludruk ontang-antingmu itu, kaki yang tak
lelah menghela langkah, dan bagaimana
apa yang kauucap di depan tukang beca penggemar
atau pinggir kali dengan sedikit pendengar
terus terdengar hingga kini, tak
lungkrah-lungkrah, tak payah-payah

aku pecinta bimbang, cak
bimbing aku

perempuan-perempuan datang
dan pergi meninggalkan bahasa
yang sementara, bahasa yang terlalu
sering di ulang orang hingga cepat usang
maka ujari kau bagaimana cara menemukan
supartiku, seperti kau menemukan supartimu
setelah dua kisa cinta murungmu yang
selalu berumur setahun

aku tualang bimbang, cak
bimbing aku

tidak ada puisi dalam khazanah
masa kecilku, seperti tak ada perikan
dalam keluarga besarmu
tapi kau temukan jula-julimu sendiri, hei
putra kiai, dan kau tempuh pikiranmu sendiri
dan bertahan kau di sana, berdiri gagah
sebagai tualang sejati dalam ludruk garingan

lalau kacamata riben itu, cak
apakah sekedar penutup mata julingmu
ataukah kau jadikan tameng
agar suatu bagian dari dirimu
tidak dimasuki apa-apa yang mengajakmu menyerah

Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Puisinya antara lain dalam antologi Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (2008)

Cerpen 1_ Koran Kompas Minggu 11 Januari 2015

KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI
oleh. Agus Noor

     Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka selepas dari penjara, yang diinginkan ialah mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan secangkir kopi. Hanya dikedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara paling baik. 
   Ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan, dan kedai kopi ini seolah diperuntukan bagi orang-orang seperti itu. Nyaris tak ada yang berubah. Meja kursi kayu hanya terlihat makin gelap dan tua. Yang dulu tak ada hanya poster bergambar siluet wajah lelaki berkumis tebal, yang terpasang dekat jendela. Ada tulisan bawah poster itu, seperti larik puisi. Pada kopi ada revolusi, juga cinta yang tak pernah mati. Ia tersenyum. Sejarah memang aneh: dulu lelaki itu pembangkang, kini dianggap pejuang.
    Beberapa orang di kedai kopi langsung menatap tajam saat ia masuk. Ia mengenali beberapa dari mereka, para pembangkang yang sejak dulu memang selalu berkumpul di keadi kopi ini. Ia tetap tenang. Apapun bisa terjadi. Mungkin seseorang akan menyerangnya. Sepuluh tahun dalam penjara membuat kewaspadaannya makin terasah. Ia meraba pistol dibalik jaket. Sekadar berjaga. Kita harus selalu berhati-hati menghadapi kebencian, batinnya, saat menatap anak muda penyaji kopi yang terus memandanginya. Mata itu mengingatkan pada mata laki-laki yang dulu dibunuhnya. Umur anak muda itu baru 11 tahun saat bapaknya mati. Kini terlihat seperti banteng muda yang siap meluapkan dendamnya. Pemuda itu mengangguk pelan saat ia memesan.
     Panas udara siang membuat aroma kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah dilupakannya harum kopi yang menentramkan ini, seolah aroma itu dicuri dari surga. Ketika ditugaskan ke kota ini, komandannya memberi tahu, agar tak melewatkan kedai kopi ini dari 'daftar yang harus dikunjungi': Kedai kopi yang menyediakan kopi terbaik. Kedai kopi yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya.
      Bertahun lalu, ia dikirim ke kota ini untuk menghabisi seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi negara. Saat itu demontrasi nyaris meledak setiap hari. Kota ini menjadi kota yang selalu rusuh oleh gagasan gila perihal kemerdekaan. Para perusuh itu, begitu tentara menyebut, tak hanya bergerak di hutan-hutan, tetapi juga menyusup ke kota, menyerang pos keamanan atau menyergap pasukan patroli keamanan. Tentara melakukan pembersihan. Puluhan orang ditangkap, diculik dan tak pernah kembali. Ada peristiwa yang taka akan pernah dilupakan oleh penduduk kota ini, ketika suatu hari tentara mengeksekusi delapan anak muda diperempatan pusat kota. Mereka diseret, dibariskan satu per satu, kemudian ditembak tepat di kepala. Kekejian seperti itu terkadang diperlukan untuk menciptakan ketakutan. Tapi siapa yang bisa membunuh gagasan? Kepala bisa ditembak sampai pecah, tetapi gagasan akan terus hidup dalam kepala banyak orang. Peristiwa itu mendapat protes keras, dan makin memicu perlawanan. Amnesty Internasional menekan pemerintah pusat. Saat operasi militer tak lagi dianggap efektif, ia pun dikirim.
     Sebagai agen intelejen terlatih ia pun dengan cepat mengetahui, bagi orang-orang di kota ini kedai kopi bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi. Hampir disetiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Rasanya tak ada penduduk kota ini yang tak menyukai kopi. Di keadi kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa sepanjang hari duduk di kedai kopi untuk berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal rahasia, kasak kusuk perlawanan, juga tempat palin tepat untuk menyelesaikan masalah. Pertengkaran bisa diselesaikan dengan secangkir kopi. Semua informasi di kota ini akan dengan mudah didapatkan di kedai kopi.
     Dari informasi yang dimiliki ia mengenali lelaki yang mesti dihabisi. Yang dianggap musuh negara paling berbahaya ternyata bukan seorang berperawakan kekar, yang hidup berpindah-pindah dalam hutan memimpin gerilyawan, dan karena itu tentara tak pernah berhasil menangkapnya. Orang yang dicarinya itu hanya bertubuh kecil, nyaris kurus, berkulit gelap, rambut agak ikal. Ia terlihat keras, tetapi selalu berbicara dengan intonasi santun. Jadi inilah orang yang selalu menghasut anak-anak muda untuk melakukan perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Dia hanya penyaji kopi.
***
     ANAK muda penyaji kopi itu telah berdiri didekatnya, menyodorkan secangkir kopi yang sedikit bergetar ketika diletakkan di meja. Ia tahu anak muda itu gugup, tetapi berusaha mengendalikan emosinya.
     "Ini kopi terbaik yang kusajikan untukmu yang di dalamnya tersimpan rahasia, yang hanya bisa kau ketahui setelah kau meminumnya." Anak muda itu menatapnya. "Tetapi aku tak yakin, apakah kamu berani meminumnya habis."
     Di luar, jalanan ramai lalu lalang kendaraan. Klakson angkot, knalpot sepeda motor meraung kencang. Lagu dangdut terdengar dari kedai kopi seberang jalan. Tapi ia merasakan suasana begitu sunyi dikedai kopi ini. Semua orang dalam kedai terdiam dan memandang ke arahnya, seolah berharap terjadi perkelahian seru.
     "Duduklah," akhirnya ia berkata. "Seperti yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini, mari kita selesaikan semuanya dengan secangkir kopi."
     "Seperti ketika kamu menghabisi ayah aku!"
     Terdengar kursi kayu digeser, dan anak muda itu duduk. Lagu dangdut masih terdengar dari kedai seberang: Tuduhlah aku, sepuas hatiiimuuuu, atau bila kau perlu bunuhlah akuuuu....
     "Kau pasti membenciku." Ia mengisap rokok dalam-dalam.
     "Untuk apa membenci seorang pengecut. Pengecut lebih pantas dikasihani."
     "Kalau ku katakan aku bukan pembunuh ayahmu, pasti kau tak percaya. Tapi baiklah, bila aku kau anggap pembunuh ayahmu, kau pasti tahu kenapa ayahmu harus dibunuh."
     " Selalu tersedia cukup banyak alasan untuk menjadi pembunuh. hanya pengecut yang membunuh dengan cara-cara licik."
     "Jangan terlalu percaya pada apa yang diberitakan koran-koran. Asal kau tahu, aku mengagumi ayahmu. Kematian ayhmu bukna tanggung jawabku. Itu tanggung jawab negara."
      "Yang pertama-tama dilakukan para pengecut memang selalu mencari pembenaran. Itu sebabnya para pengecut selalu selamat."
       Ia kembali menyalakan sebatang rokok diasbak masih panjang. Ia ingin meminum kopi di cangkir itu pelan, tapi seperti ada yang menahannya, insting yang mengharuskannya bersikap hati-hati dalam situasi seperti ini. Jari-jarinya berkedut, hal yang selalu terjadi bila ia merasa cemas, hingga rokok dijarinya nyaris lepas. "Aku telah menghabiskan sepuluh tahun dalam penjara untuk sesuatu yang dituduhkan padaku yang sebenarnya tak pernah kulakukan."
         "Pengecut tak akan pernah berani mengakui kejahatan yang dilakukan!"
         "Aku sendiri hanya orang yang dikorbankan untuk menutupi kesalahan orang lain. Salah alamat bila kau mendendam kepadaku."
         "Ini bukan soal dendam. Ini soal keadilan," tatapan anak muda itu makin tajam. "Kamu memang sudah dihukum. Dan aku yakin, sepanjang hidupmu, kamu akan terus dihukum oleh kepengecutan dan ketakutanmu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk berhenti menuntut keadilan."
          "Apa yang kamu tuntut dari keadilan? Keadilan tak pernah membuat yang mati hidup kembali."
           "Yang mati memang tak akan pernah hidup kembali..."
           "Kecuali tuhan," ia menimpali ucapan anak muda itu, mencoba berkelakar mencairkan suasana tegang.
       "Keadilan bukan perkara orang per orang. Ini bukan persolan antara aku dan kamu. Jga bukan persoalan kmau dan ayahku. Jika kamu menganggap ini hanya persoalan pribadi, semestinya kamu menentang ayahku untuk berduel, sampai salah satu di antara kalian mati. Itu jauh lebih jantan dan terhormat. Tapi aku tahu, pengecut semacammu tak akan pernah berani bersikap jantan seperti itu. Menyedihkan memang, pengecut selalu selamat oleh kepengecutannya."
      "Aku bukan pengecut!" Suaranya terdengar mengambang di udara.
      "Kalau begitu, minum kopi itu, dan kita tunggu apa yang terjadi."
      Ketika ia hanya terdiam gamang memandangi cangkir kopi, anak muda itu tertawa masam. "Apa kamu pikir dengan berani datang ke kedai ayahku ini kamu sudah membuktikan keberanianmu? Tidak! Aku yakin kamu datang kemari bukan untuk meminta maaf. Kamu datang kemari justru karena ingin membuktikan bahwa kamu tidak bersalah telah membunuh ayahku. Kamu merasa, dengan dipenjara sepuluh tahun, sudah cukup untuk menganggap selesai persoalan. Bagiku, tak ada kata lupa untuk kejahatan. Pembunuh selalu bersikeras melupakan korbannya. Bahkan, aku yakin, kamu sudah lupa seperti apa ayahku."
       Ia diam-diam melirik pada poster di tembok kayu itu; wajah lelaki berkumis tebal itu tak akan pernah mungkin dilupakannya. Wajah yang selalu muncul dalam mimpi buruknya. Ia tak akan pernah lupa pada saat-saat ia mulai mendekati lelaki itu. Masuklah ke dalam hati musuhmu melalui apa yang disukainya. Ketika ia selalu mengajaknya bicara tentang kopi, lelaki itu dengan cepat menyukainya. Saat menikmati kopi di sore bergerimis, dari lelaki itu ia tahu rahasia menyajikan kopi. Sentuhan tangan penyaji kopilah yang membedakan rasa kopi. Biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi. Ia pun mengerti kenapa di kedai ini tak ada mesin penggiling kopi. Lelaki itu mengolah sendiri biji-biji kopi dengan tangannya. Sentuhlah biji-biji kopi dengan seluruh perasaanmu, kamu akan merasakan sesuatu yang lembut. Dan kamu akan tahu mana biji kopi terbaik yang pantas disajikan untuk pelanggan.
      Sebenarnya ia tak hendak percaya. Namun pada kenyataannya kopi di kedai kopi ini memang terasa paling nikmat dilidahnya. Ia seudah sering menikmati kopi dibanyak kedai kopi, tetapi tak ada yang bisa membuatnya merasa begitu nikmat senikmat setiap kali ia menikmati kopi dikedai ini. Seakan dalam secangkir kopi itu ada kebahagian yang dikekalkan. Bahkan ketika dalam penjara, diam-diam ia sering minta tolong pada sipir untuk membelikan kopi dari kedai ini. Dengan sogokan tentu saja.
      "Tak pernah ada sebelumnya yang membiarkan kopi di kedai ini menjadi dingin tanpa menyentuhnya," suara anak muda itu membuyarkan ingatannya."Itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu bukan saja pengecut karena tidak berani meminum kopi yang aku sajikan, tetapi juga meyakinkanku kalau kamu memang pengecut yang dihantui ketakutanmu sendiri."
       Anak muda itu bangkit meninggalkannya sendirian.
***
          Langit gelap dan kosong ketika  ia keluar dari kedai itu. Tapi perasaan kosong dalam hatinya menghamparkan kehampaan melebihi luas langit yang dipandanginya. Rasanya ia merasa lebih terhormat bila anak muda itu menghajarnya hingga babak belur ketimbang membuatnya merasa terhina seperti ini.
          Tak akan pernah berani lagi ia kembali ke kedai kopi itu. Kopi yang disajikan anak muda itu benar-benar telah membuatnya diluapi perasaan takut; mengingatkannya pada peristiwa saat ia menuangkan arsenik ke dalam cangkir kopi lelaki berkumis itu. Ia melihat seorang gadis berjalan bergegas menyebrang jalan. Gadis itu memakai kaos bergambar sablon wajah lelaki berkumis itu. Kematian seorang pengecut seperti dirinya tak akan pernah mendapat kehormatan seperti kematian lelaki yang dibunuhnya.
         Saat melintas di depan toko kelontong berkaca lebar ia berhenti, memandangi bayangan muram tubuhnya; kulit coklat gelapnya tersamar warna jaket yang telah pudar, maat cekung dan alis matanya yang semurung sayap burung sedikit tertutup rambut yang mulai gondrong. Bayangan di kaca itu seperti hantu masa lalu yang tak ingin di lihatnya.
        Kemudian ia berjalan menuju kelokan, dan untuk terakhir kali memandang kedai kopi itu dari kejauhan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam cahaya kota yang remang. Bila pada akhirnya ia benar-benar menghilang dari dunia ini, adakah seseorang yang masih mengingat dan mengenangnya?

AGUS NOOR
punya latar belakang pendidikan teater di ISI Yogyakarta,
tetapi lebih populer sebagai cerpenis dan aktivis media sosial.
Cerpennya pernah dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 2011.
Penulis yang lahir di Tegal, Jawa Tengah, ini menjadi sutradara
dan penulis lakon dalam seri seni pertunjukan Indonesia
Kita yang digagas seniman Butet Kartaredjasa.