Senin, 08 Juni 2015

SEBOTOL HUJAN UNTUK SAPARDI

Oleh. JOKO PINURBO


Kompas, Minggu, 7 Juni 2015

 
            Saya jatuh cinta pada puisi gara-gara suatu malam, sebelum tidur, membaca seuntai kata dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono:"masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi". Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMA dan belum punya cita-cita.

           Kata-kata itu terus menggema dalam kepala saya dan membuat saya semakin suka bersendiri bersama puisi. Semapt terbetik keinginan untuk ikut-ikutan menjadi penyair, tapi menurut sahabat dekat saya, kepala saya kurang abnormal untuk mendukung keinginan saya. "Lebih baik jadi teman penyair saja," ujarnya dan saya mengiyakan.
          Saya gemar mengoleksi buku puisi. Bila ada buku puisi yang hilang, saya akan mencarinya kembali di toko buku sampai ketemu. Pernah seorang teman meminjam buku puisi saya yang baru saya beli dan belum sempat saya buka. Diam-diam buku puisi itu ia berikan kepada pacarnya sebagai hadiah ulang tahun. Kepada banyak orang, teman saya itu sering mengungkapkan rasa bangganya karena berkat hadiah buku puisi darinyalah pacarnya tumbuh menjadi seorang pengusaha kata yang sukses dan kaya.
            Saya sendiri, sekian tahun setelah malam yang diguncang puisi itu, sudah menjadi seorang karyawan yang mapan di sebuah perusahaan di Jakarta dan saya tetap belum mengerti apa sebenarnya cita-cita saya. Kecintaan saya terhadap puisi masih terpelihara dengan baik. Di tengah kesibukan saya yang tiada habisnya, saya masih mencuri waktu untuk menghadiri berbagai acara pembacaan puisi, minta tanda tangan dan berfoto bersama penyair-penyair kesayangan saya. Kadang saya membantu penyair-penyair dari daerah mencari tempat untuk sekadar numpang tidur dan mandi. 
             Ada satu impian lama yang ingin segera saya wujudkan: berfoto bersama Sapardi dan minta tanda tangannya. Sebenarnya saya pernah punya kesempatan bagus untuk berkenalan dengannya. Dalam sebuah acara pesta puisi Sapardi lewat persis di depan saya. Ia mengenakan kaos oblong putih bertuliskan "kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma". Keren sekali. Sayang, dalam sekejap ia sudah diserbu oleh para penggemarnya dan saya tidak kebagian waktu. Selain itu, saya masih ragu untuk mendekat dan berhadapan dengannya. Saya takut ditanya, "Anda siapa ya?" Dan saya bukan siapa-siapa.
                Malam itu, sepulang dari lembur kantor, saya sempat berbicara dengan diri saya sendiri. Dalam naungan hangat kopi, saya membaca tulisan Seno Gumira Ajidarma: "Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya berakhir dengan pensiun tidak seberapa."
              Asu! Kepala saya langsung menggigil. Saya memerlukan miras (minuman waras) atau obat penenang untuk mengahadapi bayangan kengerian menjadi tua di Jakarta. Saat itu juga saya mengontak teman saya, Subagus yang kenal baik dengan Sapardi. Saya minta tolong Subagus untuk mencarikan kesempatan bertemu dengan Sapardi dan Subagus menyanggupi.
              Pada hari yang telah disepakati oleh Subagus dan Sapardi, hujan mengantar saya ke rumah penyair yang kurus itu. Saya lihat Sapardi sedang duduk khidmat di beranda mendengarkan suara hujan. Ia khusuk sekali memperhatikan hujan menerpa daun bugenvil dan daun bugenvil bergerak-gerak memukul jendela. Ia tidak menyadari kedatangan saya dan saya tidak ingin mengusik kesendirian dan kesunyiannya. Saya membayangkan ia sedang tersihir oleh hubungan gaib antara tanah dan hujan. Tanpa sempat mengucapakan sepatah kata pun saya balik badan dan pulang.
Dalam perjalan pulang saya menemukan sebuah amplop berisi sepotong senja tergeletak di dekat tiang listrik. Pastilah itu sepotong senja yang dikirim Seno untuk seseorang yang sangat merindukannya. Burung yang meminta mengantarkannya ketujuan agaknya kemalaman, kemudian menjatuhkannya begitu saja di tengah kemacetan jalan. Saya ambil amplop itu, saya selipkan di saku baju. Sesampai saya di rumah, saku baju saya belepotan oleh cairan berwarna kuning kemerah-merahan. Senja yang luntur. Senja orang-orang Jakarta. "Itu bukan senjaku." kata Seno yang saat itu ternyata sedang tidak berada di dunia nyata. 
                  Saya ceritakan kepada Subagus perihal kedatangan saya ke rumah Sapardi seraya meminta tolong lagi dicarikan kesempatan kedua untuk berjumpa dengannya dan Subagus menyanggupi. Tidak lupa saya berpesan , "cari tahu jam yang tepat untuk bertemu beliau ya, Su." Memperhatikan gaya bicara Subagus yang terkesan kurang serius, diam-diam saya mencium ada sesuatu yang tidak beres. Namun saya tidak mau berprasangka.
                   Gelap baru saja datang ketika saya tiba di tempat kediaman Sapardi. Rumahnya kelihatan sepi dan gelap. Saya ketuk-ketuk pintunya dengan sopan. Setelah diketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. Dari balik pintu muncullah tuan Sapardi. Tanpa ba-bi-bu ia melepaskan kata-kata: "Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar." Pintu segera ditutup. Saya terperangah dan terpana, lalu balik badan dan pulang.
                 Dua kali gagal tidak membuat saya menyerah dan kehilangan akal. Tanpa sepengetahuan Subagus, saya mempersiapkan kesempatan ketiga. Untuk usaha ketiga ini, saya akan datang menjumpai Sapardi tanpa janji dan pemberitahuan terlebih dahulu. Saya akan memilih sebuah hari yang istimewa. Saya akan menjumpainya dengan cara yang jitu, yang akan membuatnya tidak bisa menghindari saya. 
                 Saya siapkan semua buku kumpulan puisi Sapardi yang saya punya untuk saya mintakan tanda tangan penyairnya. Saya siapkan pula sebuah bingkisan sederhana sebagai tanda terima kasih saya karena sajak-sajaknya telah berhasil menjebloskan saya ke dunia kata-kata yang mengacak-ngacak ruang dan waktu. Saya merasa sudah siap mental untuk menemuinya lagi. Saya tidak tahu apakah dia juga siap mental. 
              Dan saat itu pun tiba. Saya datang ke rumahnya malam hari. Saya ketuk-ketuk pintu rumahnya dengan lembut. Setelah saya ketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. Dari balik pintu muncullah tuan Sapardi. Saya langsung menembaknya: "Tuan Tuhan, bukan?Tunggu di luar saya sedang berdoa sebentar."
              Ia tertawa dengan tergelak-gelak dengan suara yang tak terlukiskan indahnya. Ia mempersilahkan saya masuk, lalu membimbing saya menuju halaman belakang di mana terdapat sebuah kolam kecil yang jernih airnya. Kami duduk di tepi kolam. Kami bercermin pada kolam. Melaui air kolam saya dapat meihat denagn jelas sosok penyair hujan itu: di dalam tubuhnya yang tanpak ringkih terdapat daya yang lebih. 
                     Sapardi menggunakan sarung dan kaos oblong putih bertuliskan "Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi". Keren sekali. Rupanya ia habis nonton film "Filosofi Kopi". Dan ia menghidangkan kopi seraya berkata, "Seno dan Subagus juga barusan ngopi-ngopi di sini." kopi saya terima dengan takzim. Saya dan kopi tidak bertengkar tentang siapa diantara kami yang lebih pahit.
                 Saya buka tas gendong saya, saya keluarkan sejumlah buku puisi Sapardi untuk ditandatangi oleh penyairnya. Setelah itu kami berfoto berdua. Sah. Sempurna.
Hari itu Sapardi genap berusia 75 tahun. Saya ambil sebuah bingkisan dari dalam tas. Saya ulurkan padanya sebuah botol berisi hujan bercampur senja. Ia mengucapkan terima kasih. Ia tempelkan botol itu ditelinganya. Ia berbinar-binar mendengarkan suara hujan di dalam botol. Hujan yang hangat dan jingga oleh senja. 
                      Ia bangkit dan berdiri. Dikocok-kocoknya botol hujan itu berulang kali. Tutup botol tiba-tiba terlepas dan menyemburkan air berwarna jingga. Menyembur tinggi ke udara. Saya masih mendongak takjub ketika semburan air berwarna jingga sudah lenyap tak terbekas. Sapardi menepuk punggung saya "Lihat!" katanya sambil jari tangannya menunjuk ke arah kolam. 
           Saya lihat di atas kolam sudah ada sekuntum bunga berwarna jingga. Saya tidak tahu bunga apa namanya.Cahaya bulan memenuhi kolam, membuat bunga jingga itu nampak kian menyala. Kami terdiam berapa lama. Hening malam membekukan bahasa. Dengan suara dalam dan pelan Saprdi berkata, "Yang fana adalah waktu. Kita abadi."

JOKO PINURBO
Adalah seorang penyair yang sesekali menulis cerpen. Menetap di Yogyakarta, tapi kerap kali ke Jakarta untuk acara kesusastraan. Cerpennya masuk ke dalam antologi CPK (Cerpen Pilihan Kompas) 2013 dan CPK 2014.

 

Minggu, 24 Mei 2015

Tugas Sastra Bandingan #5



Perbedaan Diksi dan Pilihan Kata dalam Proses Penerjemahan “The Old Man and The Sea” karya Ernest Hemingway oleh Sapardi Djoko Damono dan Dian Vita
Oleh
Siti Aulia Masropah
180110130053

Menerjemahkan sebuah karya sastra merupakan proses yang sangat tidak mudah. Karena tidak semua bahasa ‘asal’ dapat ditemukan padananannya pada bahasa ‘tujuan’. Hal ini dapat mempengaruhi pesan dan maksud yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sang penulis karya pada bahasa aslinya. Maka dari itu, tidak jarang sebuah karya sastra yang diterjemahkan lebih banyak disebut sebagai saduran atau ‘karya baru’ dibandingkan dengan hasil dari pengalih bahasaan. Selain itu, penerjemahan sebuah karya sastra yang dilakukan oleh orang berbeda tidak akan memiliki hasil yang sepenuhnya sama. Hal ini akan terlihat jelas pada karya sastra yang berjudul “The Old Man and the Sea” karya Ernest Hemingway yang dialihbahasakan oleh beberapa penerjemah Indonesia, diantaranya Sapardji Djoko Damono dengan judul “Lelaki Tua dan Laut” dan Dian Vita yang tetap mempertahankan judul yang sama.
Dalam hasil penerjemahkan masing-masing penerjemah terdapat banyak perbedaan. Terutama dalam hal Diksi atau pilihan kata. Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh latar belakang yang berbeda dari kedua penerjemah tersebut. Sapardji Djoko Damono merupakan seorang yang selanjutnya disingkat SDD adalah seorang sastrawan sedangkan Dian Vita yang selanjutnya disingkat DV merupakan penerjemah novel Love in The Time of Cholera dan juga penulis. Oleh sebab itu, dalam proses penerjemahan mereka menggunakan gaya bahasa dan ciri khas masing-masing. [1]
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perbedaan yang menonjol dari kedua hasil terjemahan tersebut ialah perihal diksi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat Tabel dibawah ini:
SDD
DV
....Ia pun selalu datang unuk menolongnya membawakan gulungan tali atau kait besar dan kait kecil dan layar yang sudah tergulung di tiang perahu.
....ia selalu turun membawa gulungan tali atau tombak ikan seruit serta layar yang tergulung di sekitar tiang kapal.


Di pipinya nampak banyak bintik-bintik coklat noda kulit yang diakibatkan oleh pantulan matahari dari laut tropis.
Noda coklat besar dari kanker kulit yang ditimbulkan oleh refleksi sinar matahari pada lautan tropik tergambar dikedua pipinya.
Bintik-bintik itu memenuhi kedua sisi wajahnya dan kedua tangannya penuh dengan goresan-goresan tajam yakni bekas luka karena gosokan tali sewaktu menghela ikan besar.
noda itu menuruni kedua sisi wajahnya dan tangan-tangannya memiliki parutan bekas luka akibat genggaman erat pada senar kail yang diseret oleh ikan besar.
Seluruh tubuhnya nampak tua kecuali sepasang matanya, yang warnanya bagai laut serta cerah dan tak kenal menyerah.
Segala sesuatu pada dirinya menggambarkan usia lanjutnya selain kedua matanya. Keduanya memiliki warna serupa laut dan menyiratkan keriangan serta semangat yang tak bisa dipadamkan.
“Aku bisa ikut kau lagi, kami sudah mendapat cukup uang.”
“Aku bisa pergi denganmu lagi. Kita telah menghasilkan banyak uang.”


Begitulah,” kata si lelaki tua. “Tetapi kita sama-sama yakin, bukan?”
Tidak” lelaki tua itu Mengiyakan. “Tetapi kita punya. Benar kan?”
“Kenapa tidak?” kata lelaki tua itu, “Kita sama-sama nelayan
“Kenapa tidak?” lelaki tua itu mengiyakan. “Sebagai sesama lelaki.”
“Ya,” kata anak itu. “Mau kau kutraktir bir di teras dan sesudah itu kita bawa pulang perlengkapan ini?”
“Ya,” si bocah menjawab. “Bolehkah aku menawarimu segelas bir di beranda dan kemudian kita akan membawa peralatan ke rumah.”
“Berapa umurku waktu pertama kali kau bawa ke laut?”
Berapa usiaku ketika bapak pertama kali mengajakku naik perahu?”
“Lima, kau nyaris celaka ketika ku angkat ikan yang masih buas yang hampir saja menghancurkan. perahuku berkeping-keping. Ingat kau?”
Lima dan engkau hampir terbunuh ketika aku membawa ikan yang sangat muda itu dan hampir merobek perahu jadi berkeping-keping. Masih ingatkah kau?”
“Kuingat ekornya membentur-bentur dan perahu retak dan suara-suara pukulanmu yang gaduh. Kuingat kau melemparkanku kehaluan tempat gulungan tali yang masih basah dan kurasakan seluruh perahu bergetar dan kau mengamuk memukuli ikan itu bagai membacok-bacok batang pohon dan bau darah yang segar tercium disekelilingku.
“Aku masih ingat ekornya memukul, menampar papan tempat duduk dalam sampan hingga pecah berantakan serta terdengar suara ribut dari hantaman-hantaman. Aku ingat bapak melemparkanku ke dalam haluan tempat bergulung-gulung tali basah diletakkan. Aku merasa seluruh bagian perahu bergetar dan suara berisik terdengar ketika bapak memukul jatuh ikan itu seperti menumbangkan sebatang pohon lalu bau amis darah tercium di seluruh badanku.
“Kau betul-betul mengingatnya atau hanya karena pernah kuceritakan hal itu padamu?”
benar-benarkah kau dapat mengingatnya atau hanya dari yang kuceritakan padamu?”
“Kuingat segala yang pernah terjadi sejak pertama kali kita bersama ke laut.”
“Aku ingat semuanya sejak pertama kali kita pergi bersama”
Lelaki tua itu menatapnya dengan mata yang masak oleh terik matahari, yang yakin dan penuh rasa sayang.
Lelaki tua itu memandanginya dengan bola matanya yang terbakar matahari menyiratkan hati yang penuh perasaan sayang dan percaya diri.
“Kalau saja kau ini anakku sendiri kubawa kau besok mengadu untung,” katanya. “Tetapi kau milik ayah dan ibumu dan kau sudah ikut perahu yang nasibnya baik.” hlm. 8
“Andai saja engkau adalah anakku sendiri, aku akan mengajakmu keluar dan bertaruh,” ia berharap. “Tetapi engkau adalah anak ayah ibumu dan sekarang telah bergabung dengan kapal yang beruntung.” Hlm 7
Kubelikan sardin itu ya? Aku juga tahu tempat orang menjual empat ekor umpan.”
“Bolehkah kuambilkan sarden untuk bapak? Aku juga tahu di mana bisa mendapatkan empat ekor umpan.”
“Aku masih punya sisa umpan hari ini. kutaruh di atas garam dalam kotak.”
“Aku meninggalkan kepunyaanku sejak hari ini. Aku letakkan dengan lumuran garam dalam kotak.”
“Biar kubelikan empat ekor umpan yang masih segar.” (hlm. 8)
“biar kuambil empat ekor yang segar-segar.”
“Satu saja,” kata lelaki tua itu. Harapan dan keyakinannya tidak pernah layu. Malah sekarang menjadi segar seperti angin lembut bertiup. (Hlm.9)
“Satu saja,” lelaki tua itu mengingatkan. Harapan dan percaya dirinya tidak pernah hilang. Tetapi sekarang mereka sedang beristirahat dalam belaian angin sepoi-sepoi.
“Baiklah: dua,” kata lelaki tua itu. “kau tidak mencurinya, bukan?”
“Baiklah, dua,” lelaki tua itu akhirnya menyetujuinya. “Kau tidak akan mencurinya, kan?”
“Inginnya begitu,” jawab anak laki-laki itu. “Tetapi yang ini kubeli.”
“Aku mau saja,” si bocah menjawab nakal. “Tetapi kali ini aku membelinya.”
“Terima kasih,” kata lelaki tua itu. Piirannya terlalu sederhana untuk mempertanyakan kapan ia berendah hati.
“Terima kasih,” lelaki tua itu berkata. Pikirannya terlalu sederhana untuk membayangkan sejak kapan ia mencapai taraf kerendahan hati.
Tetapi ia tahu bahwa ia telah berendah hati dan ia tahu bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang aib dan tidak menyebabkan kehilangan harga diri.
Tetapi ia tahu bahwa ia telah mencapainya dan ia menyadari bahwa itu bukan hal memalukan atau merugikan bagi harga diri sejatinya.
“Besok hari bagus kalau arus begini,” katanya
“Esok akan menjadi hari yang baik dengan arus seperti ini,” Ia mengomentari keadaan cuaca.
“Rencanamu mau kemana?” Tanya anak itu.
“Ke mana bapak akan pergi?” si bocah bertanya
Pergi sampai jauh dan kembali kalau angin berganti arah. Aku akan turun sebelum matahari terbit.”
Jauh masuk ke tengah tempat angin berubah arah. Aku akan berangkat sebelum terang.”
“Nanti kucoba mengajaknya turun sampai jauh,” kata anak itu. “Dan kalau kau berhasil mendapat ikan yang sungguh besar kami dapat menolongmu.”
“Aku akan berusaha membawanya bekerja jauh ke tengah.” Si bocah berkata. “Dengan begitu jika bapak menangkap sesuatu yang sangat besar kami bisa segera datang memberi bantuan.:
“Ia tidak suka bekerja sampai jauh.”
“Dia tidak suka bekerja terlalu jauh ke tengah.”
“Memang,” kata anak itu. “Tetapi aku bisa melihat sesuatu yang ia tak mampu melihatnya seperti misal seekor burung yang sedang cari makan dan akan kuajak dia berburu dalfin sampai jauh ke laut.”
“Memang tidak,” si bocah menyesali. “Tetapi mataku akan bekerja seperti sepasang mata burung. Melihat sesuatu yang dia tidak bisa sehingga akan mudah mengajaknya untuk mengikuti lumba-lumba.
“Aneh,” kata lelaki tua itu. “Ia tak pernah berburu kura-kura. Padahal itulah yang merusakkan mata.”
“Aneh,” kata lelaki tua. “Dia tak pernah mencari penyu. Padahal itulah yang mematikan mata.”
Akupun suka heran tentang diriku sendiri.”
Aku adalah orang tua aneh.” Hlm. 8


“Kita bawa pulang perlengkapan itu sekarang,” kata anak itu. “Supaya bisa kuurus jala itu dan pergi membeli ikan sardin.” Hlm. 10
“Mari kita bawa barang-barang ke rumah,” si bocah mengajak. “Dengan begitu aku sempat mengambil jala tebar dan menangkap sarden.”
Lelaki tua tu memanggul tiang perahu di pundaknya dan anak itu menjinjing kotak dengan gulungan tali coklat yang kekar, kait kecil dan kait besar serta tangkainya
Lelaki tua itu memanggul tiang di bahunya dan si bocah menjinjing kotak kayu dengan jalinan tali keras berwarna coklat yang tergulung, tombak ikan, dan seruit dengan tangkainya.
Kotak yang berisi umpan ada di bawah buritan, juga tongkat yang dipergunakan untuk memukuli ikan besar waktu dihela ke sisi perahu.
Kotak itu dengan umpan-umpan ada di bawah buritan perahu bersisian dengan pentungan yang digunakan untuk mengatasi ikan besar yang mereka bawa bersama. Hlm 9
Tidak ada seorangpun yang mau mencuri milik lelaki tua itu namun layar serta tali-tali itu lebih baik di bawa pulang sebab kalau kena embun bisa rusak dan, walaupun lelaki tua itu yakin bahwa penduduk setempat tidak akan mencuri barang-barang miliknya, lelaki iu menganggap bahwa kait adalah godaan yang tak perlu ditinggal di perahu.
Tak ada orang yang akan mencuri dari lelaki tua itu tetapi lebih baik membawa layar dan tali-tali yang berat ke rumah karena embun dapat berakibat buruk bagi peralatan itu, walaupun dia sangat yakin tidak ada orang setempat yang akan mencuri miliknya, lelaki tua itu berpikir bahwa sebatang tombak ikan dan sebuah seruit adalah godaan yang tak ada gunanya ditinggalkan di atas kapal.
Mereka berdua berjalan menuju gubuk lelaki tua itu dan masuk lewat pintunya yang terbuka.
Mereka berjalan menyusuri jalan besar bersama-sama menuju gubuk lelaki tua, masuk ke dalam melewati pintu yang terbuka.
Lelaki tua itu menyandarkan tiang yang terbungkus layar itu ke dinding dan si anak menaruh kotak dan perlengkapan lainnya di sampingnya.
Lelaki tua menyandarkan tiang kapal dengan layar pembungkusnya pada dinding dan si bocah meletakkan kotak dan peralatan lain di sampingnya.
Tiang perahu itu hampir sama panjangnya dengan sebuah bilik gubuk itu.
Tiang kapal itu hampir sama panjangnya dengan ukuran satu ruangan di dalam gubuk.
Gubuk itu terbuat dari mancung pohon palma yang keras yang disebut guano; ada sebuah dipan untuk tidur, sebuah meja, sebuah kursi, dan sebuah sudut di lantai tanah tempat memasak dengan arang.
Gubuk itu terbuat dari semak palem royal yang kuat yang biasa di sebut guano dan di dalamnya terdapat sebuah dipan, sebuah meja, satu kursi, dan satu ruangan dengan lantai kotor sebagai tempat memasak dengan kayu arang.
Sebuah gambar berwarna hati Suci Yesus dan sebuah gambar perawan Cobre ditempelkan di dinding-dinding coklat yang terbuat dari lembaran-lembaran guano yang seratnya sangat kuat.
Pada dinding berwarna coklat yang terbuat dari daun guano berserat yang kuat, yang telah diratakan dan dipasang tumpang tindih terpampang sebuah gambar berwarna hati Kudus Tuhan Yesus dan gambar lain sang Perawan Suci dari Cobre. Hlm 10
Gambar-gambar itu adalah peninggalan istrinya.
Ini adalah peninggalan keramat almarhum Istrinya.
Dahulu ada pula gambar istrinya yang berwarna di dinding tetapi ia telah mencopotnya sebab ia merasa kesepian kalau menatapnya dan sekarang disimpan dalam rak di bawah bajunya yang bersih.
Dulu pernah ada foto berwarna istrinya pada dinding tetapi telah diturunkan karena membuatnya merasa kesepian setiap kali memandanginya dan sekarang foto itu disimpan dalam rak di sudut ruang di bawah baju-baju bersihnya.
“Apa yang akan kau makan?” tanya anak itu.
“Apa yang bapak punya untuk dimakan?” si bocah bertanya.


“Tidak. Aku akan makan di rumah. Boleh kubuatkan api?” hlm. 11
“Tidak. Aku akan makan di rumah. Bapak ingin aku membuat api?” hlm. 10
Sesungguhnya tiada lagi jala itu dan anak laki-laki itu ingat ketika mereka menjualnya.
Tidak ada jala tebar dan si anak ingat ketika mereka menjualnya.
Tetapi mereka suka berkhayal setiap hari. Juga tidak ada panci nasi kuning dan ikan dan anak itu juga tahu. Hlm. 11
Tetapi mereka melakukan fiksi ini setiap hari. Tak ada sepanci nasi jagung dan ikan, si bocah juga tahu hal ini. hlm. 10
“Delapan puluh lima adalah angka beruntung,” kata laki-laki tua itu. “Senangkah kau kalau aku berhasil mendapat seekor yang beratnya lebih dari seribu pon?” hlm. 11
“85 adalah angka keberuntungan,” lelaki tua itu berkata. “Betapa senangnya jika aku dapat menangkap seekor yang dapat ditukar dengan 1000 pound.” Hlm. 11
“Aku akan mengurus jala itu dan pergi membeli ikan sardin. Kau duduk saja diambang pintu biar kena sinar matahari.’
“Aku akan mengambil jala tebar dan mengambil sarden. Apakah bapak akan duduk di bawah matahari di pintu masuk?”
“Baiklah. Aku punya koran kemarin dan ingin kubaca tentang pertandingan baseball itu.”
“Ya. Aku punya koran kemarin dan akan kubaca berita pertandingan baseball.”
Anak laki-laki itu tidak tahu apakah koran kemarin itu juga hanya khayalan saja. Tetapi lelaki tua itu mengambilnya dari bawah dipan.
Si bocah tidak mengerti apakah koran kemarin termasuk dalam fiksi juga. Tetapi lelaki tua itu membawanya keluar dari dipan.
Pedrico yang memberikan koran ini padaku di bodega,” katanya menjelaskan
Perico membawakannya untukku di bodega.” Ia menjelaskan.
“Aku kembali nanti kalau sudah mendapatkan sardin. Biar kusimpan nanti punya kita bersama-sama dalam es dan besok kita bagi dua. Ceritakan padaku tentang baseball itu kalau aku sudah balik,”
“Aku akan kembali dengan membawa sarden. Aku akan menyimpan milikmu dan milikku bersama dengan es batu dan kita dapat membaginya besok pagi. Saat aku kembali bapak bisa bercerita tentang kejuaraan baseball.”
“Tetapi aku takut pada Indians dari Cleveland itu.”
“Percayalah pada Yankess anak muda. Ingat saja DiMaggio yang agung.”hlm. 11
“Tapi aku mengkhawatirkan Indians dari Cleveland.”
“Yakinlah pada Yankess, anakku. Pikirkan jagoan DiMaggio.” Hlm. 11
“Aku takut pada Tigers dari Detroit dan Indians dari Cleveland.”
“Aku takut akan Tigers dari Detroit dan Indians dari Cleveland.”
“Hati-hati saja, atau kau bahkan juga takut pada Reds dari Cincinnati dan White Sox dari Chicago.’
“Hati-hatilah atau kau bahkan akan takut pada Reds dari Cincinnati dan White Sox dari Chicago.”
Baca saja dan ceritakan padaku kalau aku baik nanti.”
Bapak pelajarilah dan ceritakan padaku saat aku kembali.” Hlm. 11
Bagaimana kalau kita membeli lotre yang buntutnya delapan puluh lima? Besok hari yang ke delapan pulu lima?
 Apa kau pertimbangkan untuk beli lotre dengan nomor buntut delapan puluh lima? Besok adalah hari 85.”
“Boleh saja,” kata anak laki-laki itu. “Tetapi bagaimana tentang nomor delapan puluh tujuh yang menjadi rekormu itu?”
“Kita bisa lakukan itu,” kata si bocah. “Tetapi bagaimana dengan rekor hebat bapak selama 87 hari?”
“Itu tak akan berulang. Bisakah kau mencari nomor delapan puluh lima?”
“Tidak mungkin terjadi dua kali. Apa kau bisa mendapatkan 85 itu?”
Hangatkan dirimu sahabat,” kata anak itu. “Ingat bahwa ini bulan september.”
Bapa santai saja.” Si bocah menenangkan. “Ingatlah sekarang September.”
Bulan yang banjir ikan-ikan besar,” kata si lelaki tua. “Setiap orang bisa menjadi nelayan di bulan Mei.”
Saat ikan-ikan besar berdatangan.” Lelaki mtua itu menyahut, “Siapapun dapat jadi nelayan pada bulan Mei.”
“Aku pergi mencari sardin” kata anak itu
“Aku pergi mencari sarden.” Si bocah berpamitan
Ketika anak laki-laki itu kembali lelaki tua itu tertidur di kursi dan matahari sudah terbenam.
Ketika si bocah kembali, lelaki tua itu sedang tertidur di bangku dan matahari mulai terbenam.
Ia mengambil selimut militer yang sudah tua itu dari dipan dan menaruhnya disandaran kursi menutupi pundak lelaki tua itu.
Si bocah mengambil selimut militer usang dari dipan dan mengahamparkan pada punggung kursi, menutupi bahu lelaki tua itu.
Kedua pundak itu nampak aneh, masih tetap perkasa meskipun sudah sangat tua, dan lehernya juga masih kuat dan kerut merutnya tidak begitu kentara kalau lelaki tua itu tidur dan kepalanya tergantung ke depan.
Bahu-bahu yang aneh, masih kuat walaupun sudah tua, lehernya juga masih kokoh dan kerutan tidak nampak terlalu banyak ketika si lelaki tua tertidur dengan kepala terjatuh ke depan.
Kemejanya penuh tambalan sehingga nampak seperti layar dan tambalan-tambalan itu sudah luntur menjadi bermacam-macam warna kena sinar matahari.
Baju kaosnya telah berkali-kali ditambal sehingga menyerupai  layar kapal, dengan tambahan-tambahan yang memudar karena matahari.
Koran itu terbuka di atas lutut  dan tangannya menindihnya sehingga tidak terjatuh oleh angin sore. Kakinya telanjang.
Koran kemarin terbentang menutupi lututnya, ditindih berat lengannya yang memegangnya di sana dalam sapuan angin malam. Dia telanjang kaki.
Anak laki-laki itu meninggalkannya lagi dan ketika ia kembali untuk kedua kalinya lelaki tua itu masih juga tidur.
Si bocah meninggalkannya di situ dan ketika kembali lelaki tua itu masih tertidur.
“Bangun pak tua,” seru anak itu sambil menyentuh lutut lelaki tua itu.
“Bangun Bapak,” si bocah menggugahnya dengan meletakkan satu tangan pada lutut lelaki tua itu.
Lelaki tua itu membuka mata dan beberapa saat lamanya ia masih dalam perjalanan dari negeri mimpi. Kemudian ia tersenyum.
Lelaki tua itu membuka matanya dan sejenak ia memulihkan diri dari perjalanan jauh ke belakang. Kemudian ia tersenyum.
“Apa yang kau bawa?”tanyanya
“Makan malam,” kata anak itu, “Kita berdua akan makan malam.”
“Aku tidak begitu lapar.”
“Ayoh makan. Kau tak bisa kerja tanpa makan.”
“Apa yang kau dapat?” ia bertanya
“Makan malam,” si bocah menjawab. “Kita akan segera makan malam.”
“Aku tidak lapar.”
Kemari dan makanlah, pak. Bapak tidak bisa menangkap ikan tanpa makan lebih dahulu.”
“Aku sudah makan,” lelaki tua itu bangkit mengambil koran dan melipatnya. Lalu ia mulai melipat selimut.
“Aku sudah sering begitu,”lelaki tua itu menjawab keras kepala sambil bangkit membawa koran yang terlipat. Kemudian ia mulai melipat selimut. Hlm. 14
“Kalau begitu semoga kau panjang umur supaya bisa mengurus dirimu sendiri,” kata si lelaki tua. “Apa saja yang akan kita makan?”
“Baik, hiduplah selamanya dan jaga dirimu baik-baik,” lelaki tua itu menukas. “Apa yang akan kita makan?”
Kedelai dan nasi, pisang goreng dan daging rebus.”
Makanan itu telah dibawanya dari teras dalam sebuah panci yang bersekat. Pisau, garpu dan senduk masing-masing dua pasang terbungkus serbet kertas dimasukkan kedalama kantung celananya. Hlm 13
Kacang polong dan nasi, pisang goreng dan sayuran rebus.”
Si bocah membawa hidangan itu dalam wadah logam dua bagian dari beranda. Dua set pisau, garpu, dan sendok ada dalam sakunya, masing-masing terbungkus serbet kertas. Hlm 14
“Iapun memberi dua bir.”
“Dia menitipkan bir.”
“Ya aku tahu. Tapi ini yang dalam botol, bir Hatuey, dan kukembalikan botol-botolnya.”
“Aku tahu. Tapi kali ini dalam botol, bir Hatuey, dan aku akan kembalikan botol-botolnya nanti.
Di mana pula kau mencuci tangan, pikir anak itu. Sumber air kampung ini letaknya di sebelah sana melewati dua jalan.
Di mana pula bapak akan mencuci tangan? Pikir si bocah. Persedian air bersih desa itu terletak dua ruas gang di bawah dari jalan besar.
Seharusnya kuambilkan air untuknya tadi, piker anak itu, dan sabun serta handuk baru.
Aku harus menyediakan air bersih di sini untuknya, renung si bocah, juga sabun dan sehelai handuk bersih.
Kenapa pula aku tak berpikir sejauh itu? Aku harus membelikannya sehelai baju lagi dan sebuah jaket musim dingin dan sepatu dan selembar selimut.
Mengapa aku tidak memperhatikan hal ini? Aku juga harus menyiapkan baginya baju kaos dan jaket untuk musim dingin dan beberapa pasang sepatu serta selimut lagi.
“Enak sekali daging rebusmu ini,” kata lelaki tua itu.
Sayur rebusmu enak,” si lelaki tua memuji.
“Seperti kukatakan Yankess menjadi jago Perkumpulan Amerika,” kata si tua itu dengan gembira.
“Di liga Amerika jelas Yankess Berjaya seperti telah kukatakan,” lelaki tua itu menjawab dengan gembira.
“Tentu. Tetapi ia jagonya. Dalam perkumpulan lain yang mengadakan pertandingan, antara Brooklyn dan Philadelphia aku mestinya memilih Brooklyn.  Tetapi kemudian aku ingat Dick Sisler dan pukulan-pukulan mautnya.
“Harus begitu. Tetapi dia membuat perbedaan sendiri. Di liga lain, antara Brooklyn dan Philadelphia aku pasti memilih Brooklyn. Tapi kemudian aku pertimbangkan Dick Sister dan para jagoan yang Berjaya di stadion lama.
“Kau masih ingat ketika ia suka datang ke Teras? Aku ingin mengajaknya mancing tetapi aku takut mengatakannya. Lalu kuminta kau mengatakan padanya tetapi kaupun takut-takut.”
“Apakah kau ingat ketika di suka datang ke beranda? Aku ingin mengajaknya memancing tapi aku terlalu malu untuk memintanya. lalu aku memintamu untuk mengajaknya dan kau dan segan.”
“Kuingat itu. Kita salah. Mestinya ia sudah mincing bersama kita. Dan akan menjadi kenang-kenangan kita selama hidup.”
“Aku tahu. Itu adalah kesalahan besar. Bias jadi ia akan telah pergi denan kita. Kemudian kita akan mengenangnya sepanjang hidup kita.”
“Aku ingin mengajak DiMaggio yang agung itu untuk mincing,” kata lelaki tua itu. “Orang bilang ayahnya seorang nelayan. Barangkali dulunya ia juga miskin seperti kita ini, dan menerima ajakan kita.”
“Aku akan mengajak si jagoan DiMaggio memancing” lelaki tua berkata. “Mereka bilang ayahnya adalah seorang nelayan. Mungkin dia sama miskinnya dengan kita dan akan bisa mengerti.”
“Ayah Sihler yang agung itu tidak pernah miskin dan dia, si ayah, menjadi pemain perkumpulan –perkumpulan ternama ketika masih seumurku.”
“Ayah si hebat Sihler tidak pernah susah dan dia, ayahnya, telah bermain dalam Liga Besar ketika masih seumurku.”
“Ketika aku seumurmu aku bekerja pada sebuah kapal yang cukup perlengkapannya berlayar ke Afrika dan aku pernah menyaksikan singa-singa di sepanjang pantai pada waktu malam.”
“Saat aku seumurmu aku telah ada pada tiang di kapal besar yang melaju ke Afrika. Di sana aku telah melihat harimau di pantai pada malam hari.”
 Kaulah jam bekerku,” kata anak itu.
 Bapak adalah alarmku,” si bocah berkata.
“Umurkulah jam bekerku,” kata si tua. “Kubangunkan kau besok tepat pada waktunya.” Hlm 17
“Usiaku adalah alarmku.” Si bocah berkata.
“mengapa lelaki tua bangun sangat awal? Apakah supaya dapat menikmati satu hari lebih lama lagi?”
“Aku tidak tahu,” si bocah menjawab. “Yang aku tahu adalah anak muda tidur larut, itupun dengn susah payah.”
“Aku bisa mengingatnya,” lelaki tua itu mengenang. “Aku akan membangunkanmu tepat waktu.” Hlm 18
“Aku tak suka ia membangunkanku. Aku malu dan merasa rendah karenanya.”
“Aku tidak suka dia membangunkanku. Rasanya dapat membuatku rendah diri.”


Ia segera jatuh tertidur dan bermimpi tentang Afrika waktu ia masih sangat muda dan pantai kencana dan pantai putih, begitu putihnya sehingga menyilaukan matamu, dan tanjung yang menjulang dan gunung-gunung coklat yang perkasa.
Ia tertidur sejenak dan bermimpi tentang Afrika ketika dia masih sangat muda dengan pantai keemasan memanjang serta pantai putihnya, begitu putih sehingga dapat memedihkan penglihatan, tampak juga tanjung yang tinggi serta pegunungan raksasa kecoklatan.
Setiap malam ia kembali berada di pantai itu dan dalam mimpi-mimpinya ia mendengar deru ombak dan menyaksikan perahu-perahu pribumi meluncur di atasnya.
Ia tinggal disepanjang pantai itu sekarang setiap malam dan dalam mimpinya terdengar gemuruh ombak laut, terlihat kapal penduduk asli datang menghampiri melewati ombak.
Ia mencium bau tir dan tali temali yang bertebaran di dek dalam tidurnya dan ia mencium bau Afrika pada angin darat yang bertiup di pagi hari. Hlm 17
Ia mencium aroma ter dan serpihan tali yang tercerabut serat-seratnya di dek belakang selama tidurnya dan terhirup bau-bauan tanah Afrika yang dibawa angin darat saat pagi menjelang. Hlm 19
Tapi malam ini angin darat itu datang terlampau awal dan ia tahu mimpinya belum usai dan ia terus bermimpi menyaksikan puncak-puncak kepulauan yang keputih-putihan bangkit dari laut dan kemudian bermimpi tentang pelabuhan-pelabuhan dan pangkalan-pangkalan di kepulauan kenari.
Namun malam ini aroma angin darat tiba terlalu awal dalam mimpinya, bersambung mimpi melihat puncak-puncak putih dari kepulauan yang muncul dari horizon laut kemudian ia memimpikan pelabuhan-pelabuhan yang berbeda dan pangkalan laut pulau Canary.
Ia tak lai bermimpi tentang topan, tak pernah lagi memimpikan perempuan-perempuan atau petualangan-petualangan atau ikan-ikan besar atau perkelahian atau adu kuat atau istrinya.
Ia tak lagi bermimpi mengenai badai, juga tidak tentang perempuan, atau peristiwa-peristiwa dasyat, atau ikan-ikan besar, atau konteks kekuatan, bahkan tidak pula istrinya.
Kini ia hanya bermimpi tentang tamasya dan tentang singa-singa yang Nampak di pantai.
Ia hanya memimpikan tempat-tempat sekarang dan harimau di pantai.
Di waktu senja singa-singa itu bergelutan seperti kucing dan ia sayang pada mereka seperti sayangnya pada anak laki-laki itu.
Mereka bermain sebagai anak kucing pada senja hari dan ia menyayangi mereka seperti sayangnya pada si bocah.

            Kutipan di atas hanyalah sebagian dari yang penulis temukan dalam karya terjemhan dari masing-masing penerjemah.
            Saat membaca paragraf pertama kalimat pertama penulis sudah menemukan perbedaan yang cukup signifikan, yaitu pada kalimat:
Ia seorang lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap ikan di arus teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan puluh empat hari lamanya tidak berhasil menangkap seekor ikanpun.
Adalah seorang lelaki tua yang pergi ke laut seorang diri dalam sebuah perahu di arus Teluk Meksiko yang berlayar selama 84 hari tanpa membawa hasil ikan seekorpun.
Selama empat puluh hari yang pertama, ia ditemani oleh seorang anak laki-laki.
Selama 40 hari pertama seorang bocah menemaninya.
  
Pada kalimat dari SDD menerjemahkan bahwa Lelaki tua tersebut ada dalam perahu seorang diri, sedangkan dalam terjemahan hasil DV menerangkan bahwa lelaki tua tersebut pergi seorang diri menggunkan perahu, jadi bukan sudah berada di dalam perahu tersebut. Lalu terdapat perbedaan dalam penggunaan Numeralia. Penulisan nomor bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf, jika lebih dari dua suku kata susunan kalimat diubah agar bilangan yang tidak dapat ditulis dengan huruf itu tidak ada pada awal kalimat (Waridah Ernawati, “EYD”. 2013: 28). Karena pada kalimat ini, angka bilangan ini tidak terdapat di awal kalimat dan lebih dari dua suku kata, maka penggunaan numeralia yang benar adalah dari Dian Vita.
lalu masuk perbedaan selanjutnya yang sangat menonjol adalah perbedaan bentuk penyebutan bagi seorang anak yang bersama lelaki tua tersebut dan sapaan sang anak pada lelaki tua tersebut. Hal ini dapat terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini:
...atas perintah orangtuanya anak itu kemudian ikut perahu lain yang berhasil menangkap tiga ekor ikan besar selama minggu pertama.
...bocah tersebut pergi sesuai perintah mereka ke perahu lain yang menangkap tiga ekor ikan bagus pada minggu pertama.
Anak itu merasa kasihan setiap kali menyaksikan si lelaki tua...
Si bocah sedih menyaksikan lelaki tua itu....
“Tapi ingat betapa kau pernah selama delapan puluh tujuh hari ke laut tanpa mendapat seekorpun ikan, dan kemudian kita menangkap beberapa ekor ikan besar setiap harinya selama tiga minggu.”
“Tetapi ingatlah bagaimana Bapak pergi delapan puluh tujuh hari tanpa hasil dan kemudian kita berhasil menangkap seekor ikan yang sangat besar setiap hari selama tiga minggu.”
“Tetapi apakah kini kau masih merasa cukup kuat untuk menghadapi ikan yang betul-betul besar?” hlm. 9
“Tapi apa bapak masih cukup kuat sekarang untuk seekor ikan yang sangat besar?” hlm. 9
“Nanti kucoba mengajaknya turun sampai jauh,” kata anak itu. “Dan kalau kau berhasil mendapat ikan yang sungguh besar kami dapat menolongmu.”
“Aku akan berusaha membawanya bekerja jauh ke tengah.” Si bocah berkata. “Dengan begitu jika bapak menangkap sesuatu yang sangat besar kami bisa segera datang memberi bantuan.:
“Aku tahu.”
“Selamat mimpi indah, sobat.” Hlm. 13
“Aku mengerti.”
“Tidur nyenyak, bapak.” Hlm. 14

SDD dalam hasil terjemahannya menggunakan frasa “anak” sedangkan DV menggunkan frasa “Bocah”. Menurut dari sumber yang saya baca menerangkan bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, bocah memiliki arti anak (kecil) dan kanak-kanak. Sedangkan, anak di antaranya memiliki arti manusia yang masih kecil.[2] Selain itu, pada kalimat di atas terdapat perbedaan sapaan anak kecil tersebut pada sang lelaki tua. SDD menerjemahakan bahwa sapaan yang digunakan adalah “Kau”, “Engkau”, dan “Sobat”, sedangkan DV lebih cenderung menggunakan kata “Bapak”. Melihat hal tersebut, tergambar jelas bahwa SDD lebih memperlihatkan kesan keakraban diantara sang anak kecil dengan si lelaki tua sedangkan DV lebih memperlihatkan tentang kesopanan dan tata krama antara pergaulan beda usia.
Terdapat pula perbedaan antara penyebutan nama makanan, atau bahan makanan yang terdapat dalam cerita tersebut, seperti yang terlihat pada kutipan-kutipan berikut ini:
Layar itu bertambal karung gangdum dan kalau tergulung di tiang nampak seperti panji-panji tanda takluk abadi.
Layar itu ditambal dengan karung tepung  dan dalam keadaan tergulung, nampak seperti bendera kekalahan abadi.
“Sepanci nasi kuning dan ikan. Kau ingin makan?”
“Sepanci nasi jagung dengan ikan. Apa engkau mau?”
Kedelai dan nasi, pisang goreng dan daging rebus.”  hlm 13
Kacang polong dan nasi, pisang goreng dan sayuran rebus.” hlm 14

Pada kutipan di atas terdapat perbedaan ganjil antara penyebutan nasi kuning (SDD) dan nasi jagung (DV). Kedua hal ini jelas memiliki makna dan acuan yang sangat berbeda. Terlebih pada frasa “daging rebus” (SDD” dan “sayuran rebus” (DV), benar-benar sangat berbeda jauh.
Hasil dari telaah ini, penulis menyimpulkan bahwa kedua penerjemah ini tidak hanya melakukan proses alih bahasa, tetapi keduanya hampir melakukan proses penyaduran. Namun pendapat ini belum dapat dianggap absah karena, memang dalam proses penerjemahan tidak akan benar-benar mampu mengalihkan amanat dan maksud dari sang penulis karya bahasa asal.




* Sebelumnya penulis memohon maaf jika dalam pengerjaan tugas ini mirip pada salah satu hasil yang terdapat dalam sebuah Website, namun penulis dapat menjamin bahwa tulisan ini benar-benar ide dan hasil pemikiran penulis pribadi (di luar dari bagian-bagian yang dikutip) dan penulis baru menyadari ada kemiripan setelah penyusunan kerangka ide untuk pengerjaan tugas ini.